Logoterapi
Latar Belakang Logoterapi
Logoterapi
kadang-kadang disebut mazhab ketiga psikoterapi Wina, sedangkan dua lainnya
adalah psikoanalisa Frued dan psikologi individual Adler. Cara lain untuk
melihat psikoterapi adalah sebagai pelengkap, bukan pengganti untuk psikoterapi
(Frankl, 1975a). Logos adalah kata
Yunani yang memiliki konotasi “makna” dan “jiwa”, kata yang disebut terakhir
itu tanpa konotasi religius primer. Manusia adalah makhluk pencari makna dan
pencarian makna itu tidak pedalogis. Eksistensi menghadapkan orang pada
kebutuhan untuk menemukan makna dalam hidupnya. Maksud utama logoterapi adalah
untuk membantu klien dalam mencari makna.
1. Viktor frankl (1905-1997)
Viktori E. Frankl, yang
lahir 26 maret 1905 di Wina, Austria, adalah putra dari orang tua yang
berkebangsaan Yahudi. Ibunya adalah keturunan dari keluarga bangsawan Praha tua
yang mapan. Ayahnya adalah putra penjilid buku miskin menjadi pegawai negeri
yang kemudian menjadi direktur departemen kesejahteraan pemuda pemerintah
Astria. Diantara tiga bersaudara, Frank tumbuh di lingkungan yang terjamin,
yang menggambarkan ibunya sebagai perempuan yang baik hati dan saleh serta
ayahnya adalah laki-laki spartan, tabah, religius, dan memiliki sense of duty yang kuat. Frank melihat
dirinya memiliki ketegangan antara rasionalitas ayahnya dan emosi mendalam
ibunya. Frank adalah murid yang sangat berbakat secara intelektual di sekolah
dan lebih matang dibandingkan usianya, yang berkorespondensi dengan freud.
Frankl muda menerbitkan artikel pertamanya atas undangan Freud dalam international journal of psychoanalisis.
Frankl melontarkan
istilah logoterapi pada 1920-an dan pada 1930-an menggunakan kata existenzanalyse, analisis eksistensial,
sebagai kata alternatif untuk logoterapi. Untuk menghindari kerancuan, ia
nyaris tidak pernah menggunakan istilah analisis eksistensial dalam
publikasi-publikasi bahasa inggrisnya. Pada 1928, Frankl mendirikan Youth Counseling Centres di Wina, dan
mengepalainya sampai 1938. Pada 1930, ia menerima MD dari Universitas of
Vienna. Antara tahun 1938 sampai 1942 ia menjadi spesialis di bidang Neurologi
dan Psikiatri, dan kemudian Kepala Bagian Neurologi di Jewish Hospital di Wina.
Selama periode ini, ia menulis draf pertama buku pertamanya.
Tidak lama sebelum Amerika memasuki Perang Dunia kedua, Frankl diberi
kesempatan untuk berimigrasi ke Amerika Serikat, namun ia menolaknya. Ibunya,
saudara laki-laki dan istri pertamanya, Tilly, meninggal di kamp konsentrasi
yang berbeda-beda. Namun saudara perempuannya yang saat itu telah berimigrasi
ke Australia selamat.
Dari tahun 1942 sampai 1945 Frankl memiliki pengalaman mengerikan selama
menjadi tahanan di empat kamp konsentrasi yakni Theresienstadt,
Auschwitz-Birkenau, Kaufering 111 dan Turkheim. Saat tiba di Auschwitz, rambut
di sekujur tubuh Frankl dicukur gundul. Naskah buku pertamanya disita. Selama
tiga tahun berikutnya, ia selamat dari seleksi siapa yang harus hidup atau
mati, kerja paksa, Capos (penjaga)
yang brutal, pemukulan, gizi buruk, penyakit, lika-liku nasib dan tantangan
eksistensial untuk menemukan makna dalam penderitaannya. Di sebagian besar
waktunya, ia bekerja menggali dan menyiapkan jalur kereta api. Hanya dalam
waktu beberapa minggu selama penahanannya ia bekerja sebagai dokter.
Selama periode ini, Frankl berkesempatan untuk mengamati sifat manusia
dalam kondisi ekstrem. Banyak tahanan yang menyerah dan sebagian bahkan untuk
tidak berbuat apa-apa. Akan tetapi, sebagian tahanan lain menjadi lebih dalam
secara spiritualitas dan mengganggap kesulitan sebagai ujian bagi kekuatan
batinnya. Mereka bangkit menghadapi tantangan menemukan makna dalam hidupnya.
Frankl mengutip Nietzsche, ‘He who
has a why to live for can bear almost any how’
(Dia yang memiliki cara untuk hidup
dapat menanggung hamper semua cara)
(1963: 121, penekanan sesuai aslinya), terlepas dari penderitaan mereka, para
tahanan ini mempertahankan kebebasannya untuk memilih dalam kehidupan batinnya
dan dalam cara mereka berprilaku terhadap orang lain. Mereka mengubah
tragedinya menjadi kemenangan. Ketika kembali ke Wina setelah perang, di tengah
sedu-sedannya, ia mendiktekan draf ketiga dan yang akhir dari The Doctor and the Soul (1955). Setelah
itu, selama Sembilan hari ia mendiktekan Man’s
Search for Meaning (1963), ia berpikir bahwa ia akan mempublikasikan secara
anonym, dan buku itu diterbitkan pada tahun 2005 serta terjual hamper 10 juta
eksamplar.
Pada 1946, Frankl menjadi Kepala Department of Neurology di Poliklinik
Hospital di Wina tempat ia bekerja sampai 1970. Pada 1946 ia juga bertemu
dengan istri keduanya, Elly, yang dinikahinya pada tahun berikutnya. Pada 1947,
ia diangkat sebagai Assisstant Professor of Psychiatry and Neurologi di
University of Vienna dan setelah itu pada 1955 sebagai University Professor.
Frankl adalah mantan presiden Austrian Medical Society of Psychotherapy. Di
samping itu, ia menjadi Distinguished Professor of Logotherapy di US
International University di California dan juga Visiting Professor antara lain
di Universitas Stanford, Harvard, dan Duquesne. Lebih dari 200 universitas di
seluruh dunia pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah. Selain di Amerika
Serikat, ia banyak memberik kuliah di Eropa, Australia, Amerika Selatan, Asia
dan Afrika.
I.
Teori
A. Konsep-konsep Dasar
1. Kebebasan Berkehendak
Frankl menggunakan
istilah eksistensial dengan tiga cara. Pertama, istilah eksistensial mengacu
pada existence (eksistensi) itu, yang merupakan mode of being spesifik manusia.
Kedua, eksistensial mengacu pada meaning (makna) eksistensi. Ketiga,
eksistensial mengacu pada upaya untuk menemukan makna dalam eksistensi personal
atau, dengan kata lain, mengacu pada the will to meaning (keinginan akan
makna). Manusia perlu menyadari berbagai kemungkinan transitorik. Mereka secara
konstan memilih mana diantara massa potensialitas transitorik yang akan
diaktualisasikan dan mana yang akan diaktualisasikan dan mana yang akan dukutuk
menjadi non-being.
Manusia memiliki
kebebasan berkehendak. Manusia bebas membentuk karakternya dan bertanggung
jawab untuk apa yang mereka ciptakan dari dirinya. Jika orang melampaui dimensi
somatik dan fisik eksistensinya, ia memasuki sebuah dimensi baru yang
diistilahkan sebagai “dimensi noologis” oleh frankl. Dalam dimensi noologi
inilah terletak fungsi-fungsi khas manusia, misalnya refleksi, kapasitas untuk
menjadikan dirinya objek, humor, dan kehati-hatian.
2.
Will
to meaning (kehendak untuk menemukan makna)
Will to meaning
(kehendak untuk menemukan makna) adalah kekuatan motivational fundamental pada
diri manusia. Frankl menulis, “pencarian manusia akan makna adalah kekuatan
utama dalam hidupnya. Makna ini unik dan spesifik dan hanya dapat dipenuhi oleh
dirinya saja; hanya dengan begitu makna itu mencapai signifikansi yang akan
memuaskan will to meaningnya” (1963: 154).
Logoterapi memfokuskan
pada will to meaning sementara psikoanalisis memfokuskan pada will to pleasure
(kehendak untuk mencapai kesenangan) dan psikologi individual memfokuskan pada
will to power (kehendak untuk meraih kekuasaan). Frankl mengakui bahwa freud
dan adler tidak menggunakan istilah “will to pleasure” dan “will to power”.
Akan tetapi, kesenangan maupun kekuasaan adalah produk-sampingan atau derivatif
dari will to meaning.
3.
Kesadaran
dan Ketidaksadaran
Kesadaran
Manusia adalah makhluk
spiritual dan logoterapi memfokuskan pada eksistensi spritual mereka. Fenomena spiritual
pada diri manusia bisa berupa sesuatu yang didasari atau tidak disadari.
Logoterapi bermaksud meningkatkan kesadaran klien tentang self spiritualnya.
Manusia perlu sadar akan tanggung jawabnya untuk mendeteksi dan bertindak dalam
kaitannya dengan makna unik kehidupannya di berbagai situasi spesifik dimana
mereka terlibat di dalamnya.
Ketidaksadaran Spiritual
Setiap manusia memiliki inti
spiritual personal eksistensial. Meskipun batas anatara kesadaran dan
ketidaksadaran itu ‘cair’, Frankl menganggap dasar spiritual eksistensi manusia
pada dasarnya tidak sadar. Frankl menulis: ‘Eksistensi ada dalam tindakan bukan
refleksi’ (1975a: 30)
Kata Hati
Asal muasal conscience (kata hati atau hati nurani) terdapat dalam
ketidaksadaran spiritual. Logos lebih dalam disbanding logika. Frankl menulis,
‘tugas kata hati untuk mengungkapkan kepada manusia unum necesse, the one thing
that is required (satu hal yang diperlukan)’ (1975a: 35).
Melalui kata hati, agen trans
manusia ‘sounding through adalah per-sonare dalam bahasa Latin yang
terkait dengan konsep ‘person’ manusia. Kata hati memiliki posisi kunci, yaitu
mengungkapkan transendensi manusia.
Ketidaksadaran Religius
Religiositas yang tidak disadari
atau ketidaksadaran religious ada di dalam ketidaksadaran spiritual. Manusia
selalu berdiri di dalam hubungan intensional dengan transendensi, bahkan
meskipun hanya di tingkat ketidaksadaran. ‘Tuhan yang tidak disadari’ ini
tersembunyi dengan dua cara. Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan itu
tersembunyi. Kedua, Tuhan itu tersembunyi. Bahkan pada orang-orang yang sangat
tidak religiositas itu ada secara laten.
Ketidaksadaran religius adalah
sebuah agen eksistensia, bukan sebuah faktor instingtual. Frankl menyebutnya
‘sebuah deciding being yang tak
sadar, dan bukan sebuah being yang
digerakkan oleh ketidaksadaran’ (1975a: 65). Eksistensialitas religiositas
perlu bersifat spontan. Religiositas sejati harus terbentang menurut
kecepatannya.
4. Makna
Hidup dan Kematian
Makna Hidup
Frankl menulis bahwa “menjadi
manusia berarti bertanggung jawab untuk memenuhi potensi makna yang melekat
pada sebuah situasi kehidupan tertentu’ (1975a: 125). Tidak ada satu tahap
kehidupan pun yang manusia bisa ‘menghindari amanat untuk memilih di antara
berbagai kemungkinan”. (Frankl , 1955: 85).
Setiap saat orang dipertanyakan oleh kehidupan. Cara meresponnya adalah
dengan bertanggung jawab atas kehidupannya. Meskipun senantiasa dikelilingi
oleh berbagai keterbatasan biologis, sosiologis dan psikologis, manusia mampu
menaklukkan dan membentuknya atau secara sengaja memilih tunduk kepadanya.
Makna Kematian
Ajal tidak merampas makna kehidupan.
Ajal merupakan bagian dari kehidupan dan memberinya makna. Tanggung jawab orang
timbul dari keterbatasannya. Konsekuensinya, mereka perlu menyadari seluruh
bobot tanggung jawab yang dipikulnya di setiap saat di dalam kehidupannya.
Kesempatan dan kesengsaraan yang dihadapi manusia unik. Bagaimanapu orang masih
dapat menggunakan kebebasan batinnya untuk mengambil sikap terhadap takdirnya.
Transendensi Diri
Transendensi diri adalah salah satu karakteristik esensial eksistensi
manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berusaha meraih lebih jauh
di luar dirinya sendiri. Frankl melihat kebutuhan dasar manusia adalah mencari
makna, bukan mencari self. Identitas
hanya dapat dicapai dengan bertanggung jawab atas terpenuhinya makna. Kualitas
transendensi diri kehidupan manusia paling tampak jelas saat orang melupakan
dirinya sendiri. Frankl meyakini bahwa pelajaran utamanya yang dipetiknya dari
kamp konsentrasi Nazi adalah bertahan hidup tidak aka nada tujuannya, tidak
akan ada artinya, dan akan mustahil, kecuali jika kehidupan itu menuju ke
sesuatu yang lebih jauh dari kehidupan itu.
Menderita masalah neurotic yang merefleksi kesulitan dalam transendensi
diri adalah kebalikan dari orang-orang yang menemukan makna dengan
mentransendensi dirinya. Hiper-refleksi dan hiper-intensi adalah dua cara utama
dimana orang memilih untuk tidak mentransendensikan dirinya. Hiper-refleksi
adalah kecenderungan untuk melakukan refleksi diri secara eksesif.
Hiper-intensi adalah kecenderungan untuk memberikan perhatian eksesif pada
upaya mencapai keinginan
Sumber Pengertian
Frank (1963) mengatakan bahwa transendensi diri dapat dicapai dengan
menemukan atau mendeteksi makna denga tiga cara: dengan mengamalkan, dengan
mengalami sebuah nilai dan dengan menderita. Di tempat lain, Frankl (1967,
1988) berbicara tentang tiga cara utama dapat digunakan orang untuk menemukan
makna dalam hidupnya.
1.
Melalui
apa yang mereka berikan kepada kehidupan (nilai-nilai kreatif)
2.
Melalui
apa yang mereka ambil dari kehidupan (nilai-nilai eksperensial), dan
3.
Melalui
sikap yang mereka ambil terhadap takdir yang tidak dapat lagi diubahnya,
misalnya kanker yang tidak dapat dioperasi (nilai-nilai atitudinal)
Di samping itu, pengalaman yang lalu dan agama adalah dua bidang lain
yang orang dapat menemukan makna.
Makna dalam Pekerjaan
Pekerjaan adalah salah satu bidang
utama orang dapat meraih lebih jauh sesuatu di luar dirinya. Makna pekerjaan
lebih jauh dari sekedar okupasi tertentu dan mencakup bagaimana orang membawa
kualitas-kualitas manusia uniknya ke pekerjaan. Sebagai contoh, seorang perawat
mungkin mengambil langkah lebih jauh dari tugasnya dengan mengucapkan kata-kata
yang manis kepada seorang pasien yang kritis. Frankl melihat semua pekerjaan
memungkinkan menjadi semacam itu, meskipun mengakui bahwa sebagian pekerjaan
sangat rutin. Kasus semacam ini, makna kreaktif mungkin perlu ditemukan dalam
kegiatan waktu luang.
Bekerja juga bisa berarti baik atau
buruk. Sebagian orang melarikan diri dari kekosongan eksistensinya dengan
berlindung dalam pekerjaan atau profesinya. Mencapai makna kreatif dalam hidup
tidak sama artinya dengan kepuasan kerja semata.
Makna dalam Cinta
Dalam logo terapi, cinta cinta tidak dianggap sebagai fenomena sekunder
setelah seks. Meskipun seks bisa merupakan ekspresi cinta yang matang, ia bukan
bentuk cinta itu sendiri. Cinta sebagai salah satu bentuk trandensi diri
memiliki beragam karakteristik. Cinta melibatkan berhubungan dengan orang lain
sebagai makhluk spiritual. Dengan demikian cinta melibatkan pemahaman atau
menangkap inti batin kepribadian orang lain. Orang digerakkan ke kedalaman spiritual being-nya oleh inti spiritual
pasangannya. Birahi jarang berlangsung lama. Ketika terpuaskan dorongan cinta
pun serta merta lenyap. Akan tetapi cinta memiliki kualitas permanensi dalam
arti bahwa inti spiritual orang lain itu unik dan tidak tergantikan.
Ciri lain cinta adalah karena cinta diarahkan pada orang lain
sebagaimana adanya dan bukan orang lain sebagai miliknya, maka cinta
menghasilkan monogamis. Ciri cinta selanjutnya adalah melibatkan potensi pada
orang yang dicintai dan membantunya mencapai potensi tersebut.
Frankl (1967) berusaha menegaskan
bahwa cinta bukan cara satu-satunya dan bahkan bukan cara terbaik untuk mengisi
hidup dengan makna. Di samping itu, ia membedakan antara kegagalan neurotic dan
kegagalan untuk meraih cinta ditakdirkan.
Makna dalam Penderitaan
Frankl mengutip Goethe, ‘There is
no predicament that we cannot ennoble either by doing or enduring’ (tidak
ada kesulitan yang tidak dapat kita muliakan dengan berbuat atau bertahan)
(Frankl, 1955: 115). Sebagian orang bisa tetap tegak melawan tantangan
penderitaan dan tumbuh lebih kaya dan lebih kuat karenanya. Meskipun
orang-orang mungkin adalah korban takdir yang tanpa daya, tetapi mereka tetap
dapat menggunakan kebebasan batinnya untuk mengubah kesulitannya menjadi accomplishment (prestasi) di tingkat
manusia.
Makna dari Rasa Malu
Frankl mengalami pencarian jiwa
tentang makna penderitaan ketika naskah buku pertamanya di sita. Namun
demikian, ia kemudian menyadari bahwa tidak ada yang hilang dari masa lalunya,
ia hanya tersimpan dan tidak dapat ditarik kembali. Makna hidupnya tidak
tergantung pada apakah naskahnya dicetak atau tidak. Pengalaman masa lalunya
adalah lumbung yang padat baginya. Sering kali ketika menderita, meskipun tidak
selalu, pencarian makna dapat melibatkan mengakui dan mengidentifikasi
sumber-sumber makna di masa lalu yang relevan dengan penciptaan makna di masa
kini. Selain itu, bahkan hidup yang singkat sekalipun masih bisa memiliki masa
lalu yang sarat makna. Bahkan, bagi mereka yang menjalani kehidupan steril
sekalipun, keyakinan tanpa syaratnya akan makna tanpa syarat dapat mengubah kegagalannya
menjadi kemenangan. (Frankl, 1988).
Makna Tertinggi
Frankl (1963, 1988) menggunakan
istilah supra-meaning untuk menyebut
makna tertinggi penderitaan dan kehidupan. Supra-meaning
hanya dapat dipahami oleh keimanan dan tidak melalui sarana-sarana intelektual.
Berbeda dengan filsafat eksistensial sekuler, tugas manusia bukan untuk
menjalani ketidakbermakanaan hidup.
Tren dalam kehidupan modern tidak jauh dari agama, tetapi jauh dari
penekanan pada perbedaan di antara denominasi-denominasi individual. Frankl
(1988) tidak menganjurkan sebuah bentuk agama universal. Alih-alih, ia melihat
tren ke arah agama yang sangat terpersonalisasi dimana orang mengarahkan
dirinya pada ultimate being (yang
tertinggi) dengan bahasa dan kata-katanya masing-masing.
5.
Kevakuman
eksistensial
Kevakuman eksistensial
mendeskribsikan keadaan dimana orang mengeluhkan tentang kehampaan batin.
Mereka mengalami perasaan tanpa arti, kosong dan hampa. Kevakuman eksistensial
adalah sebuah ‘jurang pengalaman yang sangat dalam’ yang berlawanan dengan
pengalaman puncak yang dideskribsikan oleh Maslow.
Frankl menyebutkan tiga penyebab
kevakuman eksistensial:
1.
Manusia tidak lagi deprogram oleh
dorongan dan insting dalam hal apa yang akan dilakukan
2.
Mereka melakukan apa yang diinginkan orang
lain untuk mereka lakukan
3.
Terjadinya reduksionisme yakni
menempatkan posisi manusia sebagai dorongan, insting, creatures of conditioning (makhluk pengondisian), dari pada deciding agents (agen yang memutuskan)
6. Frustasi Eksistensial
Frustasi eksistensia
terjadi ketika will to meaning
terhalangi. Apati dan kebosanan adalah ciri-ciri utama frustasi eksistensial.
Frustasi eksistensial itu tidak patologis dan tidak patogenik. Kekhawatiran
atau bahkan keputusasaan orang atas makna hidupnya adalah sebuah distress
sosial bukan penyakit.
7. Neurosis Noogenik
Kevakuman eksistensial
dapat menghasilkan neurotisisme. Neurosis noogenik mengacu pada kasus-kasu
kevakuman eksistensialnya menghasilkan simtomatologi klinis.
8. Mass Neurotic Triad
Frankl menggunakan
istilah ‘mass neurotic triad’ (1975:
96) untuk ketiga efek utamanya yaitu depresi, adiksi dan agresi.
9. Akuisisi (Proses Perkembangan)
Perasaan tanpa makna
belum tentu didapat melalui belajar dan indoktrinasi. Ia bisa menjadi
bagiandari respons manusia terhadap kehidupan, dan jika diselesaikan dengan
memuaskan seperti dalam kasus Frankl, bisa menjadi pengalaman pertumbuhan.
10. Pemeliharaan
Mempertahankan
kevakuman eksistensial
Bagaimana orang
mempertahankan perasaan tanpa maknanya? Beberapa pendapat dapat disimpulkan dari
tulisan-tulisan Frankl:
·
Represi
·
Menghindari tanggung jawab
·
Erosi tradisi dan nilai-nilai
·
Reduksionisme
·
Penekanan yang kurang pada trandensi
diri
·
Neurotisasi umat manusia
B. Terapi
1.
Tujuan
Terapi
Frankl membagi apa yang
diistilahkan sebagai mental illness (sakit
mental) menjadi tiga kategori: (neurosis) noogenik, (neurosis) psikogenik,
(psikosis) somatogenik. Kevakuman eksistensial merupakan neurosis atau psikosis.
Tujuan terapinya serupa apakah kevakuman eksistensial itu sebagai masalah
tunggal atau sebagai bagian dari neurosis noogenik.
Logoterapi adalah
penangangan pilihan untuk mengatasi kevakuman eksistensial. Makna logo terapi
dalam membantu klien menemukan makna dalam hidupnya. Terapis berusaha
menghadapkan dan mengorientasikan klien kearah tugas-tugas hidupnya. Logo
terapi adalah sebuah pendidikan tanggung jawab yang berusaha membuka penghalang
pada will of meaning klien. Dengan
terbukanya penghalang pada will to
meaning mereka, klien akan lebih mungkin menemukan cara-cara transendensi
diri melalui nilai-nilai kreatif, eksperensial dan atitudinal. Klien perlu
menjadi sadar akan tanggung jawab eksistensialnya untuk menemukan makna
hidupnya melalui kata hatinya. Akan tetapi, menjadikan ketidaksadaran spiritual
sesuatu yang disadari hanya sebuah fase transisi dalam proses terapi.
Pengatasan
gejala-gejala frustasi eksistensia, seperti apati dan kebosanan, adalah produk
sampingan dari pencarian dan penemuan makna. Selain itu, ketika klien menemukan
lebih banyak makna dalam hidupnya, semua gejala yang dimilikinya dari mass neurotic triad depresi, adiksi dan
agresi, kemungkinan besar akan membaik atau bahkan menghilang.
Neurosis psikogenik
termasuk obsesif dan fobia yang tujuan terapinya adalah untuk mengatasi
kecenderungan hiper-intensi atau usaha terlalu keras klien. Neurosis psikogenik
juga termasuk berbagai masalah seksual dan tidur dimana tujuan terapinya adalah
untuk mengatasi kecenderungan hiper-refleksi atau kesadaran diri eksesif klien.
Pada psikosis, seperti
depresi endogen dan skizofrenia, logo terapi dapat digunakan bersama pengobatan
yang mengarah pada aspek somatic yang telah menjadi penyakit. Logoterapi itu
sendiri menangani bagian kepribadian sehat dan sering kali tujuannya adalah
membantu klien menemukan makna dalam penderitaannya.
Tujuan yang lebih luas
dari logoterapi Frankl adalah rehumanisasi psikiatri. Terapis seharusnya tidak
melihat pikiran sebagai sebuah mekanisme dan penanganan sakit mental hanya
dalam pengertian teknik. Dalam batas-batas lingkungan dan anugrah yang
dimilikinya, manusia pada dasarnya self-determining.
2. Proses Terapi
Dalam mendiagnosis
kevakuman eksistensial, logo terapis mewaspadai dua tanda terbuka, missal klien
mengatakan ‘Hidup saya tidak memiliki makna’ dan tanda-tanda tersembunyi,
misalnya apati dan kebosanan, yang mengindikasi bahwa klien merasakan kehampaan
batin.
Frankl menekankan bahwa
makna adalah sebuah masalah individual. Terapis harus mengindividualisasikan
bagaimana mereka bekerja dan berimprovisasi. Logoterapi bukan pengajaran,
khotbah atau wejangan moral. Peran terapis adalah memperlebar dan memperluas
medan penglihatan klien sehingga seluruh spectrum makna dan nilai-nilai menjadi
terlihat oleh klien. Bagi klien yang sedang mengalami kevakuman eksistensial,
Frankl menerapkan berbagai intervensi untuk membantu klien dalam menemukan
makna dalam hidupnya. Bagi klien dengan hiper-intensi dan hiper-refleksi,
Frankl masing-masing menggunakan intensi paradoksal dan derefleksi.
3. Relasi terapeutik
Terapi adalah seorang
pendidik tanggungjawab, hal itu dilakukan dalam konteks hubungan berkomitmen
dan penuh perhatian, yang menghormati keunikan setiap klien. Frankl menghargai
manusia yang manusiawi dan menaruh perhatian pada rehumanisasi psikiatri. Hasil
karyanya menunjukkan banyak welas asih dan kearifan. Dengan menawarkan hubungan
yang manusiawi, terapis menyediakan konteks untuk membantu klien menemukan
maknanya. Bila perlu, Frankl meyakinkan klien bahwa keinginan mereka untuk
mencari makna adalah sebuah prestasi bukan kemunduran. Lebih jau, Frankl bisa
bersikap terus terang dalam berbagai pendapatnya tentang cara mencari makna.
4. Intervensi Terapeutik
Logoterapi
untuk kevakuman eksistensial
Berikut ini adalah
beberapa metode yang digunakan Frankl untuk memfokuskan pada isu-isu makna:
·
Mengajarkan pentingnya bertanggung jawab
atas makna
·
Membantu klien untuk mendengarkan kata
hatinya
·
Menanyai klien tentang makna
·
Memperluas wawasan tentang sumber makna
·
Memunculkan makna melalui pertanyaan
sokratik
·
Memunculkan makna melalui logodrama
·
Menawarkan makna, dan
·
Menafsirkan mimpi
Teknik-teknik
Logoterapi
Intensi paradoksal dan
derefleksi adalah dua teknik logoterapi utama untuk neurosis-neurosis
psikogenik (Frankl, 1955, 1975b). kedua teknik tersebut menyandarkan diri pada
kualitas esensial manusia yaitu self-trancendence
(transendensi-diri) dan self-detachment
(pelepasan-diri)
Intensi
Paradoksal
Dalam intensi
paradoksal, klien diminta untuk mengintensikan denga tepat apa yang
ditakutinya. Ketakutannya digantikan oleh keinginan paradoksal ‘memberikan
kejutan yang tidak menyenangkan kepada si fobia’ (Frankl, 1995: 208). Selain
itu, intensi paradoksal memasukkan perasaan humor klien sebagai sarana untuk
meningkatkan sense of detachment
(perasaan terlepas) daru neurosisnya dengan menertawakannya.
Meskipun penderita
obsesif-kompulsif juga menunjukkan ketakutan, ketakutannya lebih berupa
ketakutan terhadap dirinya daripada ‘fear
of fear’. Mereka menakutkan efek potensial dari pikiran anehnya. Akan
tetapi, semakin keras klien memerangi pikirannya, semakin kuat pula gejalanya.
Jika terapis berhasil membantu klien melalui intensi paradoksal untuk berhenti
memerangi obsesi dan kompulsinya gejalanya akan segera berkurang dan mungkin
akhirnya hilang.
Derefleksi
Intensi paradoksal
berusaha membantu klien untuk menertawakan gejalanya, sementara derefleksi
membantu klien untuk mengabaikannya. Neurosis seksual, seperti frigiditas dan
impotensi, adalah bidang untuk derefleksi. Klien harus diderefleksi dari
gangguannya pada tugas yang dihadapi.
Pelayanan
medis untuk psikosis somatogeni
Frankl menganggap bahwa tanggung jawab profesi
medislah untuk menenangkan dan menghibur si sakit. Medical ministry tidak boleh dikacaukan oleh pastoral ministry (pelayanan pastoral). Jika memungkinkan,
penanganan logoterapeutik terhadap klien-klien dengan depresi endogen dan
psikosis dimaksud untuk menangani bagian tidak sakit untuk membantu klien
menemukan makna dalam sikap yang diambilnya terhadap pendeitaannya.
Daftar Pustaka
Nelson,
Richard&Jones. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Terjemahan
Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
0 Response to "Logoterapi"
Post a Comment