Bimbingan dan Konseling Keberagamaan dan Bimbingan Konseling Pernikahan
Bimbingan
dan Konseling Keberagamaan dan Bimbingan Konseling Pernikahan
2.1.1
Bimbingan
Konseling Keberagamaan
2.1.2
Bimbingan
Konseling Pernikahan
Di Amerika
Serikat dekade belakanagan ini menunjukkan ribuan pasangan telah memutuskan
kalau mereka tidak bisa lagi menunggu hingga salah satu pihak memasuki alam
baka. Selain itu, ribuan pasangan lain juga menderita lewat berbagai fase
penikahannya atau menganggap jauh lebih sulit melakukan penyesuaian diri di
dalam pernikahan ketimbang berpisah atau bercerai saja (Gibson, 2011:178).
Tidak hanya di amerika di Indonesia pun perceraian hampir dianggap hal yang
biasa.Padahal kita tahu bahwa perceraian adalah masalah yang sangat besar bagi
keluarga. Tidak hanya orang tua yang menjadi korban namun anak dan sanak
keluarga yang lain ikut merasakan dampak negative dari perceraiaan tersebut.
Problem psikologis juga mengikuti contohnya yang disebutkan oleh Gibson
(2011:176) seperti perasaan gagal yang sering menyertai perceraian, dan juga
emosi-emosi negatif lain seperti marah, menyesal, dan depresi. Masalah
penyesuaian diri, trauma kedekatan, gambar diri yang rusak, rendahnya
kepercayaan diri, dan hilangnya makna hidup biasanya semakin kronis pada
anak-anak yang kemudian diasuh oleh salah satu orangtua,apalagi kalau tekanan
ekonomi dan sosial juga tinggi.
Kebutuhan
konseling pernikahan dirasa sangat perlu. Di Amerika, “Pusat bantuan pernikahan
dan keluarga yang pertama sudah didirikan sejak 1930-an, namun hanya beberapa
dekade belakangan terapi pernikahan dan keluarga muncul sebagai salah satu
bidang spesialisasi konseling. Dengan lebih dari 40.000 konselor yang terlibat
di dalam praktik khusus ini sekarang, American Association for Mariage and
Family Therapy (AAMFT) dibentuk untuk mewadahi bidang khusuS ini sebagai divisi
43 dari American Psychological Association, sedangkan sebagai bagian dari
American Counseling Association dinamai Internnaional Association of Marriage
and Family Counselors (IAMFC)” (Gibson, 12011:179).
Perbedaan juga
terlihat antara konseling individual juga konseling keluarga (Gibson, 2011:179)
kalau konseling individual berfokus kepada pribadi individual dan problem yang
dihadapinya, maka terapi keluarga berfokus kepada sistem keluarga. Bahkan jika
hanya satu anggota keluarga saja yang diberikan konseling, namun kalau problem
itu menyangkut sistem keluarga, maka bisa menjadi sebuah konseling keluarga.
Para konselor keluarga cenderung mengonsepkan problem berdasarkan perspektif
sistem atau konteks yang di dalamnya klien terlibat. Intervensi. Kalua begitu
lebih terfokus kepada relasi dan komunikasi. Tujuan utama terapi keluarga yaitu
membawa perubahan bagi struktur keluarga dan memodifikasi perilaku
anggota-anggotanya. Kelancaran dan kejernihan arus komunikasi juga harus
diperiksa agar keluarga tersebut dapat menyelesaikan problem di antara mereka
sekaligus menjadikan sesi fondasi yang kuat bagi model-model komunikasi di
antara mereka selanjutnya.
Gibson
(2011:179) menerangkan bahwa “banyak program pendidikan konselor menawarkan
studi tentang keluarga dan pernikahan. Kuliah yang tercakup di dalamnya meliputi
konseling pernikahan, konseling keluarga, seksualitas manusia dan konseling
pernikahan/keluarga.”
2.2 Konseling
di Tempat Kerja
Disari dalam Gibson
(2011:171)Konseling di tempat kerja ada dua yaitu konseling pekerjaan dan
konseling bantuan pekerja.
a) Konseling Bantuan Pekerja
Belakangan ini, semakin banyak konselor yang berpraktek
di lingkup bisnis dan industri. Pengaruh penyalahgunaan obat di tempat kerja
plus tingginya kesadaran kalau kesehatan mental umum pekerja mempengaruhi
produktivitas menstimulasikan pengembangan banyak program. Tantangan ekonomi
dan kesempatan yang diberikan legislasi juga turut menciptakan peluang ini.
Namun begitu, ketika konselor membuktikan tingginya nilai mereka di sektor
industri, banyak program meluaskan aktivitas mereka hingga mencakup bantuan
karier, perencanaan pensiun, bimbingan pendidikan, dan konseling keluarga.
b) Konseling Pekerjaan
Di tahun 1993,
Departemen Tenaga Kerja AS membangun kantor-kantor perlindungam Tenaga Kerja
untuk menyediakan penempatan dan fungsi konseling dan nasihat bagi mereka yang
belum mendapat pekerjaan. Di dalam Departemen Tenaga Kerja, seorang konselor
pekerjaan didefinisikan sebagai seorang konselor yang mengemban kewajiban
konseling dan yang memenuhi standar minimum klasifikasi konselor pekerjaan.
Konselor pekerjaan juga disyaratkan sanggup memberikan tes kerja dan
menginterpretasikan hasilnya di dalam sistem kompensasi untuk mereka yang masih
belum bekerja.
Fokus konselor
pekerjaan dan para petugas di Pelayanan Kerja AS (dulu namanya US Employment
service sekarang diubah menjadi US Job Service) adalah penempatan yang benar
klien mereka, konselor diharapkan dalamprosesnya melakukan konseling problem
pribadi dan membantu mengembangkan sikap, keterampilan, dan kemampuan yang
tepat yang akan membantu mereka lulus wawancara kerja. Para konselor juga
terlibat dalam pengumpulan data klien dan menginterpretasikan tes-tes standar.
Peran dan fungsi konselor pekerjaan
bisa dilihat dari persyaratan kompetensi konseling pekerjaan nasional lewat
lembaga profesional mereka yang resmi diterbitkan 17 maret 2001untuk
pengembangan tenaga kerja, reformasi kesejahteraan, sekolah menuju kerja,
one-stop, layanan pekerjaan, dan program konseling kerja lainnya. Kompetensi
Konseling Pekerjaan Nasional antara lan sebagai berikut:
1) Ketrampilan konseling:
ketrampilan untuk membangun hubungan yang saling percaya, terbuak, dan berguna
dengan setiap klien, menginterpretasikan secara akurat perasaan dan ekspresi
verbal/non-verbal klien, dan menyampaikan informasi berupa apapu yang dibutuhkan klien.
2) Ketrampilan asessmen
individu dan kelompok: ketrampilan untuk menyediakan assessment individu dan
kelompok dengan metode formal dan informal dalam yang sesuai dengan atura Equal
Employment Opportunities Commision (EEOC).
3) Konseling Kelompok:
kemampuan mengaplikasikan prinsip-prinsip dasar dinamika kelompok dan peran
kepemimpinan dengan suatu cara yang berkesinambungan dan efektif untuk membantu
anggota-anggota kelompok memahami problem mereka dan mengambil langkah positif
menyelesaikannya.
4) Pengembangan dan informasi
teknik pekerjaan: kemampuan mengakses, memahami, dan menginterpretasikan
informasi bursa kerja dan tren pekerjaan.
5) Ketrampilan terkait
komputer: kemampuan mengaplikasikan prinsip-prinsip konseling lewat layanan
internet dan hotline, begitu pula dengan hal pekerjaan.
6) Pengembangan rencana
pekerjaan, pengimplementasian, dan manajemen kasus: kemampuan membantu klien
mengembangkan dan mengimplementasikan rencana kerja yang cocok yang membantu
menggerakkan para pencari kerja dari status saar ini melalui layanan perbaikan
kerja yang dibutuhkan.
7) Ketrampilan penempatan:
kemampuan untuk memastikan dan mengkomunikasikan sebuah pemahaman tentang
kebutuhan dan pribadi pekerja, membuat kontak pengembangan kerja yang efektif
dan membantu klien mempresentasikan kualifikasi mereka terkait kebutuhan kerja.
8) Kemampuan menjalin hubungan
dengan komunitas: kemampuan memabantu klien mendapatkan layanan yang dinuthkan
untuk menghilangkan peluang bagi pekerjaan yang kemungkinan besare akan
mengganggu kesuksesan mendapatkan kerja.
9) Manajemen muatan kerja dan
keterampilan hubungan intra lembaga: kemapuan mengkoordinasikan segaka aspek
program konseling pekerjaan sebagai bagian dari tim , menghasilkan sebuah
urutan pelayanan berkesinambungan dan efektif bagi klien, staf lembaga,
pekerja,dan komunitas.
10) Ketrampilan pengembangan
profesi: kemampuan mengembangkan ketrampilan pribadi atau perannya di lembaga
peofesi, dan menampilkan performa standar yang diharapkan sebagai konselor
pekerjaan profesional.
11) Isu-isu etis dan hukum:
kemampuan menegakkan standar etis yang sudah ditetapkan oleh ASCA
2.3 Konseling
untuk Lansia
Sebuah Ketua
perhimpunan gerontologi medik Indonesia (PERGEMI) Siti Setiati mengatakan
penduduk Indonesia dengan usia 60 tahun di indoneisa akan terus bertambah. Saat
ini, jumlah orang lansia menduduki peringat ketiga teratas setelah India yang
berjumlah 100 juta orang dan China 200 juta orang. (kamis, 21 Mei 2015 oleh
Duwi Seriya Ariyanti). Dengan banyaknya jumlah pupulasi lansia tersebut akan
banyak pula kebutuhan dalam bidang konseling.
Sebuah
perubahan dramatis yang muncul di kebanyakan para lansia adalah krisis pensiun.
Tidak banyak orang sanggup mengatasi peralihan tersebut, entah menurunnya
kondisi fisik dan kemampuan mental (berpikir dan mengingat), maupun tercabutnya
identitas mereka selama , maupun tercabutnya identitas mereka selama 30 tahun
sebelumnya (Gibson, 2011:181). Hal tersebut yang membuat lansia mulai membuat
persepsi-persepsi bahwa mereka tidak berharga. Mereka yang dahulunya memiliki
perkejaan sebagai identitasnya sekarang mereka menggap hanya sebagai seseorang
yang merepotkan di dalam keluarga ataupun masyarakat. Gibson juga menambahkan
bahwa (2011:181) ketika mereka memasuki usia pensiun, bukan hanya jati diri
seperti hilang, tetapi juga arah hidup dan relasi sosial terut menguap.
Masalah mulai
banyak muncul dikarenakan kebanyakkan lansia merasa kesepian, karena kehilangan
berbagai macam kegiatan yang biasanya meraka lakukan. Gibson (2011:181)
menambahkan bahwa kesepian juga merupakan problem utama yang dihadapi para
lansia, dan dari situ rasa kesepian makin menguatkan perasaan negatif lainnya
seperti tidak berharga, tidak berdaya, frustasi, tidak bermakna, dan
sebagainya. Selain itu, problem usia senja semakin diperburuk jika mengalami
nasib kehilangan suami atau istri, anak yang meninggal atau sibuk denan hidup
di luar kota, teman-teman, tetangga dan kerabat yang lain dan sebaginya.
Meningkatnya pengakuan terhadap kebutuhan populasi ini juga tercermin lebuh jauh
di dalam pertumbuhan sepat penanaman program di dalam pelatihan para konselor
satu dekade belakangan untuk menangani secara profesional konseling
individu-individu lansia tersebut.
Proses
konseling lansia tentunya berbeda dengan konseling dengan seseorang yang
mempunyai usia muda, perlu adanya pengetahuan khusus yang mendalami masalah
lansia yaitu gerontologi. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari masalah
lanjut usia. Bahkan oleh kalangan ahli filsafat ilmu ini dianggap sebagai ilmu
yang sangat mulia karena justru mendalami hakikat kehidupan secara
mendasar.ilmu ini akan mendalami proses kembalinya manusia sebagai ciptaan yang
paling bermartabat (menyerupai citra Pencipta) yang akan kembali ke haribaan
Ilahi (Hardywinoto, 2005:3). Namun pendekatan yang digunakan masih sama dengan
konseling pada umumnya seperti konseling psikoanalisis atau humanistik.
DAFTAR PUSTAKA
Duwi
Seriya Ariyanti: 21 Mei 2015. Jumlah lansia di Indonesia sentuh angka 25 juta
orang. http://m.bisnis.com diakses pada hari sabtu, tanggal 31 oktober 2015
Gibson,
Robert L. dan Marianne H. Mitchell.2011. Bimbingan dan
Konseling.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Hardywinoto
dan Toni Setiabudhi.2005.Panduan Gerontologi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
0 Response to "Bimbingan dan Konseling Keberagamaan dan Bimbingan Konseling Pernikahan"
Post a comment