Sejarah Konseling Sekolah
A.
Sejarah
Konseling Sekolah
Sampai pada awal
abad ke-20 belum ada konselor di sekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor
masih ditangani oleh guru, seperti dalam memberikan layanan informasi, layanan
bimbingan pribadi, sosial, akademik, dan
karir. Dalam pembahasan ini, sejarah konseling sekolah akan
dibagi menjadi dua kategori, yaitu sejarah konseling sekolah di Amerika dan
sejarah konseling sekolah di Indonesia.
1. Sejarah
Konseling Sekolah di Amerika
Gerakan
bimbingan dan konseling di sekolah mulai berkembang sebagai dampak dari
revolusi industri dan keragaman latar belakang pada siswa yang masuk ke
sekolah-sekolah negeri. Pada
permulaan abad ke-20 konselor sekolah yang pertama dilatih untuk menambah
pemandu kerja.
Pada waktu yang
hampir bersamaan, para ahli lainnya juga mengembangkan program bimbingan ini
karena permasalahan menjadi lebih kompleks dan setiap orang berjuang untuk
mendapatkan pekerjaan untuk mengubah dunia dan kehidupannya secara cepat.
Pengakuan kebutuhan akan latihan keahlian dalam pemandu kerja, Frank Parson mendirikan
biro kerja Boston (Boston Vocational Bureau) pada tahun 1908 yang melatih
guru-guru dan lain-lain dalam pemandu kerja. Parsons, yang mengembangkan
pendekatan kepada panduan kerja, mempercayai bahwa pilihan kerja yang sesuai
berdasarkan pada (1) Pemahaman jati diri, (2) Pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip sesuai dan informasi pekerjaan, dan (3) Kesanggupan untuk
membuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan pilihan yang berdasarkan pada
pemahaman jati diri seseorang dan pengetahuan akan dunia kerja.
Dikenal sebagai “Founder
Of Vacational Guidance” Parsons membantu menggolongkan
dan membentuk suatu profesi baru, yaitu bimbingan dan konseling. Dia berhasil mempengaruhi pendidikan Amerika
walaupun parsons meninggal diusia yang relative muda pada tahun 1908, akan
tetapi usahanya dipertanggungjawabkan sebagai rujukan konseling sekolah
yang pertama.
Sebagai
ilmu baru bimbingan kejuruan
tersebar di seluruh Amerika Serikat,
individu mulai menggunakannya untuk pendekatan
yang lebih luas melalui
konseling
sekolah yang hadir
untuk berbagai macam kebutuhan siswa secara psikologis maupun
kebutuhan pendidikan. Pada tahun 1932, para pendukung
seperti John Brewer
menyarankan bahwa bimbingan harus
dilihat dalam konteks pendidikan total dan pembimbing
terlibat dalam berbagai fungsi di sekolah, termasuk
konseling penyesuaian, bantuan dengan perencanaan kurikulum, manajemen kelas, dan, tentu saja, bimbingan
kerja.
Selama
tahun 1930-an sampai tahun 1940-an bimbingan sekolah dibentuk oleh salah
satu pendekatan komprehensif pertama untuk konseling, yang kemudian dikenal sebagai
Point of View
of Minnesota Williamson
EG. Pendekatan direktif ini
terutama dipromosikan untuk menetapkan tujuan, mengatasi hambatan, dan
mencapai gaya hidup yang
memuaskan.
Selama
tahun 1940-an pendekatan direktif dari EG
Williamson adalah untuk, berorientasi pada hubungan,
pendekatan humanistik Carl R. Rogers dan lain-lain.Upaya memperkuat
identitas profesi konseling di Amerika Serikat dimulai pada tahun 1952 setelah
lahirnya asosioasi konselor yang disebut American School Counselor Association
(ASCA), melalui upaya-upaya pengembangan professional, riset, dan advokasi promosi
identitas konselor. Untuk menyiapkan konselor professional dimulai melalui
pendidikan khusus, penekanan ketrampilan konseling perorangan dan layanan bimbingan dan konseling yang mencakup:
pengumpulan data, informasi, penempatan, tindak lanjut, dan evaluasi (Neukrug,
2007).
2. Sejarah
Konseling Sekolah di Indonesia
Layanan
bimbingan dan konseling di Indonesia mulai dibicarakan secara terbuka sejak
tahun 1962. Ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA, yaitu terjadinya
perubahan nama menjadi SMA Gaya Baru, dan berubahnya waktu penjurusan, yang
awalnya di kelas 1 menjadi di kelas 2. Program penjurusan ini merupakan respon
akan kebutuhan untuk menyalurkan siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya
secara perorangan. Pemikiran ini merupakan salah
satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP,
yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960.
Perumusan
rencana pelajaran SMA ini disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, seperti rapat kerja, penataran, dan
lokakarya. Puncaknya adalah didirikannya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di dua
IKIP Negeri di Indonesia. Perguruan tinggi yang membuka jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan adalah IKIP Bandung dan IKIP Malang pada tahun 1963. IKIP Bandung
ini sekarang dikenal sebagai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan IKIP
Malang dikenal sebagai Universitas Negeri Malang (UM).
Secara formal,
bimbingan dan konseling diberlakukan di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum
1975, yang menyatakan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral
dalam pendidikan sekolah. Dan pada tahun ini pulalah berdiri Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang yang memberikan pengaruh terhadap
perluasan program bimbingan di sekolah.
Dalam dekade
80-an bimbingan diupayakan agar lebih mantap. Upaya-upaya dalam dekade ini
lebih mengarah kepada profesionalisasi yang lebih mantap. Beberapa upayanya
antara lain adalah penyempurnaan kurikulum menjadi Kurikulum 1984. Dalam
kurikulum ini telah dimasukkan bimbingan karir di dalamnya.
Usaha
memantapkan bimbingan terus dilanjutkan dengan diberlakukannya UU no. 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
“pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan nagi peranannya di masa yang akan
datang.” Meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang menegaskan
peranan bimbingan dan konseling di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran
awal untuk mendukung misi sekolah. Pada periode ini kebanyakan konselor di
sekolah masih bersifat reaktif hanya bilamana ada kasus siswa.
Undang-Undang
tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Bab X Pasal
25 tahun 1990 dan PP No. 29 Bab X Pasal 27 tahun 1990 yang menyatakan bahwa
“bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.”
Penataan
bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84 tahun 1993
tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam pasal 3 disebutkan
tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program
bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan
dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi
tanggung jawabnya.
Perkembangan
bimbingan dan konseling Indonesia menjadi semakin mantap dengan terjadinya
perubahan nama organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2001, pemunculan
nama ini dilandasi pemikiran bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai
profesi yang mendapat pengakuan dan kepercayaan publik. Maka dalam sepak
terjangnya, ABKIN telah banyak melaksanakan kegiatan berupa seminar, lokakarya
maupun penerbitan buku dan jurnal dengan tujuan untuk meningkatkan
profesionalitas serta efektifitas profesi bimbingan dan konseling baik di dalam
sekolah maupun di luar sekolah.
B.
Peranan
dan Fungsi Konselor Sekolah
Saat ini, peran
dan fungsi-fungsi dari konselor sekolah mengalami pergeseran paradigma sebagai
profesi seutuhnya dan mulai
menangani berbagai komponen model. ASCA National Model mengidentifikasi empat
sistem yang sangat penting untuk mengembangkan program konseling, yaitu:
fondasi, pelayanan, manajemen, dan akuntabilitas. Berikut
ini adalah ringkasan dari empat sistem model bimbingan yang telah mendapat dukungan dari pemerintah dalam profesi konseling
sekolah, sekarang diajarkan dalam program pendidikan konselor dan diadopsi oleh
sistem sekolah nasional. Berikut
adalah penjelasan
lengkap dari model ini:
1. Fondasi/Dasar
Fondasi/dasar dari
program konseling sekolah mencakup tiga komponen:
a. Keyakinan
dan filsafat: Menjelaskan prinsip-prinsip dasar yang mendorong program.
b. Misi:
Menjelaskan tujuan dari program ini, yang ditulis untuk semua siswa, menunjukkan keterkaitan sistem yang
luas, dan mengidentifikasi hasil jangka panjang.
c. Domain:
Mendefinisikan akademis tertentu, karir, dan daerah personal/sosial yang akan ditujukan untuk meningkatkan
pembelajaran siswa.
2. Pelayanan
Sistem pelayanan program ini menggambarkan bagaimana program akan dilaksanakan. Ini terdiri dari empat komponen:
Sistem pelayanan program ini menggambarkan bagaimana program akan dilaksanakan. Ini terdiri dari empat komponen:
a. Bimbingan
kurikulum: Mendefinisikan berbagai struktur pelajaran bimbingan, perkembangan ditawarkan melalui
kegiatan kelas,
bimbingan dan kelompok untuk membantu siswa mencapai tujuan mereka (misalnya,
meningkatkan harga diri, meningkatkan kemampuan belajar). Tujuan kegiatan ini adalah siswa, orang tua, guru, dan
lain-lain untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Perencanaan
individu siswa: Ini adalah kegiatan yang dirancang untuk membantu setiap siswa mengelola
akademiknya,
karir, dan pengembangan
pribadi / sosial. Umumnya, hal ini dilakukan melalui kelompok kecil atau konseling individu dan kegiatan
penilaian.
c. Layanan
Responsif: Ini meliputi berbagai metode konseling yang digunakan untuk menanggapi
keprihatinan mahasiswa dan meliputi konseling individu dan kelompok kecil,
konseling krisis, mengacu pada para profesional lainnya yang memfasilitasi kegiatan (misalnya, mediasi).
d. Dukungan
sistem: ini mengacu pada kegiatan-kegiatan yang mendukung konselor sekolah
secara efektif menjalankan program. Mereka mencakup hal-hal seperti kegiatan profesional berkembang, konsultasi,
kolaborasi, dan bekerja sama dengan pemegang kendali yang kritis, manajemen program dan
operasional (misalnya, anggaran), dan memastikan bahwa konselor dan orang lain
melakukan pembagian tanggung jawab yang adil dari yang diperlukan untuk secara
efektif menjalankan program
yang ada di sekolah.
3. Manajemen
Sistem manajemen mencakup alat dan proses yang diperlukan untuk berhasil menjalankan program. Ini terdiri dari enam komponen:
Sistem manajemen mencakup alat dan proses yang diperlukan untuk berhasil menjalankan program. Ini terdiri dari enam komponen:
a. Manajemen
perjanjian: Ini termasuk kesepakatan dengan administrator mengenai apa saja aspek program konselor yang bertanggung jawab dan bagaimana
tanggung jawab dibagi antara para pemangku kepentingan.
b. Dewan Penasehat: Ini merupakan kelompok
pemegang kendali
yang ditunjuk untuk meninjau program (misalnya, siswa, orang tua, guru,
administrator, dll).
c. Penggunaan
data: ini melibatkan penggunaan
analisis data dan pemilahan data untuk memastikan bahwa siswa mencapai tujuan
mereka dan dapat mengurangi
kesenjangan prestasi siswa.
d. Rencana
Aksi: Ini melibatkan rencana spesifik untuk mencapai semua tujuan siswa dan untuk mengurangi kesenjangan prestasi siswa.
e. Penggunaan
waktu: ini menjelaskan waktu tertentu dihabiskan untuk memberikan layanan untuk
semua komponen dari program konseling.
f. Kalender:
Ini melibatkan menyiapkan kalender mingguan dan semester untuk
memastikan bahwa semua
pemegang kendali
tahu apa yang dijadwalkan.
4. Akuntabilitas
Tujuan akuntabilitas adalah "Bagaimana mengatasi siswa yang bermasalah sebagai hasil dari program ini?" (ASCA, 2005a, hal. 23). Ada tiga komponen dari akuntabilitas:
Tujuan akuntabilitas adalah "Bagaimana mengatasi siswa yang bermasalah sebagai hasil dari program ini?" (ASCA, 2005a, hal. 23). Ada tiga komponen dari akuntabilitas:
a. Hasil
laporan: Ini termasuk evaluasi program yang dijalankan oleh konselor sekolah serta evaluasi
perubahan siswa dari waktu ke waktu di
seluruh
sekolah. Hasil tersebut digunakan untuk mengubah program dan harus dibagi dengan para pemangku
kepentingan.
b. Standar Kinerja: Ini melibatkan
evaluasi konselor sekolah melalui skala rating dan komentar tertulis untuk
menilai apakah konselor telah efektif dalam menangani standard yang ditentukan yaitu
masing-masing tiga belas, yang didasarkan pada komponen yang tercantum dalam
empat sistem yang telah
dikemukakan (dasar,
pengiriman, manajemen, dan akuntabilitas).
c. Audit
Program: Di sini, audit besar
manfaatnya untuk melihat bagian dari masing-masing empat sistem tersebut untuk melihat apakah
telah berhasil dilaksanakan. Sedangkan tujuan standar kinerja adalah apakah konselor sekolah
memiliki implementasi komponen, dan
audit
berfungsi untuk memeriksa
apakah komponen telah berhasil dalam mencapai tujuan tersebut (Neukrug, 2007).
Ada
pula empat tema yang merupakan implementasi dari empat sistem dari model
bimbingan dan konseling di atas, yaitu:
1. Kepemimpinan
(leadership)
Kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain,
pemimpin yang baik bekerjasama, fasilitatif, professional,
berdaya upaya dan mendukung. Bila para konselor sekolah
mengubah bentuk dari program konseling pada paradigma baru yang dikelompokkan
dalam model nasional ASCA. Bila hal hal tersebut membantu secara signifikan
dalam mengurangi achievemet gap, dan akan memakai peranan dari kepemimpinan di
sekolah.
Hal itu meliputi pertunjukan jasa sebagai kerjasamanya
dengan para stakeholder. Hal itu berarti konselor sekolah tidak akan bisa
berisolasi lebih lama dari misi dari sistem pendidikan itu sendiri, sementara harus ada kritikan
dan dukungan
dalam sistem itu.
2. Pembelaan (Advokasi)
Para konselor sekolah perlu membela program-program itu akan membahas keperluan dari semua siswa dan
beberapa siswa yang keberatan dengan sistem itu. Itu berarti adanya kemauan untuk berpendapat di
sekolah dan adanya kemauan untuk mengambil resiko pada stakeholder. Meskipun
seorang advokad yang baik mengerti
keadaan sekolah dan menjadi seorang tim pemain, dia juga mau menyampaikan saran
untuk perubahan bila diperlukan, khususnya ketika perubahan itu merujuk pada
perkembangan optimal pada diri siswa.
3. Kerjasama dan tim
Konselor sekolah harus mampu bekerjasama dengan semua
stakeholder meliputi, siswa siswa, orang tua, guru guru, administrator dan
personel lain. Kemampuan secara efektif dalam penggunaan keterampilan
interpersonal seseorang dalam suatu dukungan untuk membangun hubungan yang
penuh kritikan untuk menjadikan kerjasama yang sukses. Kerjasama sukses dengan stakeholder- stakeholder
penting yang meruakan sebuah cara yang tepat untuk koselor sekolah bisa
membantu menemukan kebutuhan dari semua
siswa.
4. Perubahan
sistemik
Karena fakta menyatakan bahwa mereka adalah satu diantara
sedikit individu di sekolah yang mempelajari sistem data yang luas serta karena
mereka adalah orang–orang yang saling bekerjasama mengerjakan pekerjaan dengan
semua stakeholder di sekolah, para
konselor sekolah berada dalam posisi yang unik untuk memahami kebutuhan sistemik dari sekolah (Neukrug,
2007)
C.
Teori
dan Proses Konseling Sekolah
Karena konselor
sekolah terlibat dalam berbagai tugas, seperti teori dan proses yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang banyak. Dengan demikian, konselor sekolah perlu
memiliki pengetahuan tentang berbagai teori yang tepat untuk melaksanakan program konseling
seperti yang diidentifikasi dalam Model Nasional. Ini termasuk pengetahuan
tentang konseling
teori, teori pengembangan karir, teori pembangunan manusia, dan teori sistem.
a. Teori Konseling
Ada sejumlah teori konseling, yang
semuanya dapat di
gunakan untuk mengatasi
masalah siswa. Misalnya, teori-teori psikodinamik dapat membantu
konselor sekolah memahami asal-usul
masalah dengan anak-anak. Teori humanistik adalah keterampilan konseling yang diperlukan konselor sekolah untuk memahami dunia batin anak-anak, dan
teori-teori kognitif dan perilaku
dapat
digunakan oleh konselor yang ingin menetapkan
tujuan spesifik yang
berfokus pada perubahan perilaku atau kognisi. Meskipun konselor sekolah dilatih dalam semua
pendekatan teoritis, karena keterbatasan
waktu pada pekerjaan, mereka cenderung
mempraktekkan pendekatan teoritis
modalitas
jangka pendek atau pengobatan singkat. Oleh karena itu, pendekatan terapi
perilaku, kognitif, dan kenyataan
yang sering digunakan (Neukrug & Williams, 1993), serta pendekatan singkat dan
solusi-terfokus (Erford et al, 2003;. Sink, 2005). Dalam beberapa tahun terakhir,
konseling Adlerian telah menjadi populer
karena
fokusnya pada pemahaman posisi anak dalam keluarganya dan bagaimana posisi yang mempengaruhi
perilaku anak. Meskipun pendekatan
humanistik cenderung
berat karena jumlah waktu yang mereka
ambil,
yang empatik, komponen penting dari pendekatan humanistik, telah menjadi alat penting untuk
membangun hubungan dengan para pemangku
kepentingan.
b. Teori
Perkembangan Karir
Sejumlah teori perkembangan karir
dapat berhasil diterapkan di sekolah-sekolah. Teori yang mungkin paling penting
adalah teori perkembangan pendekatan
pembangunan hidup jangka panjang, karena membantu konselor sekolah menyusun program karir yang
sesuai dengan tingkat usia anak-anak. Setelah program tersebut dibuat, sejumlah
teori lainnya dapat diterapkan, asalkan mereka sesuai dengan tingkat usia.
Misalnya, teori perkembangan dasar adalah untuk merancang program karir untuk
anak-anak sekolah dasar, karena teori ini mengingatkan kita bahwa anak-anak
muda yang baru mulai menjelajahi dunia kerja, sifat dan faktor dan teori
kepribadian dapat diterapkan di sekolah menengah sebagai anak-anak yang mulai
untuk memeriksa siapa mereka dan apa yang mereka anggap baik, dan teori karir kognitif serta teori konstruktivis
yang penting bagi siswa sekolah tinggi karena mereka mulai memeriksa realitas
kerja atau kuliah dan untuk melihat bagaimana mereka memahami dunia.
c. Teori
Perkembangan
Manusia
Teori perkembangan normal serta
perkembangan dari orang-orang abnormal sangat penting, tugas konselor sekolah adalah
untuk memahami bagaimana anak-anak mengembangkan program jangka panjang hidup mereka. Dengan
demikian, pengetahuan perkembangan fisik dan perkembangan kognitif membantu
konselor sekolah mengidentifikasi para siswa
berbakat
yang mungkin perkembangannya
tertunda. Pengetahuan tentang perkembangan moral membantu konselor sekolah
memahami dunia remaja yang
sedang berkembang yang terkadang penuh dengan pergolakan.
Pendekatan
pengembangan hidup jangka
panjang,
seperti yang dikatakan
Erikson, dapat membantu konselor
sekolah
menentukan apakah seorang
siswa berjalan dengan normal dan dapat membantu untuk mengidentifikasi intervensi yang
tepat jika diperlukan. Dan, teori perkembangan kepribadian dapat membantu
konselor sekolah memahami mengapa seorang siswa mungkin akan menunjukkan
beberapa perilaku abnormal.
d. Teori Sistem
Teori sistem diterapkan
untuk konseling keluarga, konseling kelompok, dan konsultasi dan pengawasan.
Jelas, pengetahuan tentang ketiga sistem adalah bagian yang penting dari
pekerjaan konselor sekolah. Mengetahui bagaimana anak-anak "cocok" ke
dalam keluarga mereka dan memahami dinamika kompleks keluarga dasar untuk
bekerja dengan anak-anak dan orang tua. Mampu bekerja secara efektif dengan
kelompok anak-anak dan memiliki wawasan tentang interaksi yang kadang
rumit
yang dapat terjadi,
sangat penting konselor sekolah untuk bekerja secara efektif dalam kelompok.
Dan memahami kompleksitas dari sistem sekolah dan bagaimana menggunakan
pengetahuan itu untuk secara efektif berkonsultasi yang merupakan tugas utama dari
konselor sekolah. Akhirnya, melihat pentingnya pengawasan oleh kepala sekolah,
direktur bimbingan, dan lain-lain, dan memahami pentingnya mengawasi orang
lain, seperti konselor sekolah, adalah salah satu bagian sistemik untuk konselor
sekolah yang efektif.
D.
Latar
Kerja Konselor Sekolah
Meskipun ada
banyak kesamaan dalam pelatihan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan
konselor sekolah menengah atas, ada beberapa perbedaan besar dalam tugas konselor sekolah sebenarnya sebagai fungsi pengaturan. Melihat distribusi
pelayanan, kita menemukan bahwa, dibandingkan konselor sekolah dasar, sekolah
menengah pertama dan konselor sekolah menengah atas semakin berkurang dalam melakukan kegiatan bimbingan dan
konseling kelompok dan
banyak lagi kegiatan administrasi, dan aktivitas bukan bimbingan.
Di sisi lain, persentase waktu melakukan pengujian, pengembangan profesional,
konsultasi, koordinasi sumber daya, dan konseling individual tetap cukup
konstan. Sebagai Model Nasional menjadi semakin diresapi, ada sedikit keraguan
bahwa persentase secara dramatis akan berubah dan bahwa peran dan fungsi
tambahan akan ditambahkan.
Meskipun ASCA
merekomendasikan konselor sekolah-murid rasio 1:250, kisaran rasio arus dari
1:150 sampai 1:1000 dengan rata-rata nasional yang 1:478. Akibatnya, apa yang
konselor sekolah lakukan kadang-kadang
tidak sesuai dengan fungsi dari jumlah siswa yang telah ditetapkan. Hukum parsimoni,
atau bagaimana melayani jumlah terbesar siswa efektif, sering menentukan cara
di mana konseling dan bimbingan jasa diserahkan dan merupakan tantangan umum
untuk semua konselor. Dengan itu dalam pikiran, dan berdasarkan pada Model
Nasional, mari kita periksa apa yang konselor sekolah lakukan sebagai fungsi
pengaturan.
a. Konselor Sekolah Dasar
Sekolah Dasar merupakan tahun sekolah kehidupan terdiri dari tahap
formatif perkembangan anak. Selama ini, anak-anak membangun akademis konsep
diri mereka karena mereka menangani masalah-masalah kompetensi dan kepercayaan
terhadap belajar. Mereka juga bekerja pada pengambilan keputusan, kemampuan
komunikasi, dan mengembangkan nilai-nilai. Selain itu, mereka mulai
mengembangkan hubungan sosial dan memeriksa posisi mereka dalam keluarga
mereka. Konseling sekolah pada tingkat
ini harus komprehensif, perkembangan, preventif, dan akademis sesuai kebutuhan siswa, karir dan
pengembangan pribadi/sosial. Berdasarkan Model Nasional ASCA itu, diperlukan
layanan bagi siswa SD yang menawarkan perspektif seorang konselor sekolah dasar
yang sedang diminta untuk bertransisi
dengan cara
dia bekerja dengan menggunakan Model Nasional.
b. Konselor Sekolah Menengah Pertama
Sebagai anak-anak
pindah ke remaja, mereka menghadapi banyak tugas perkembangan tinggi yang disebabkan oleh kebutuhan untuk
memahami kepentingan mereka, kemampuan mereka, dunia kerja, hubungan teman
sebaya mereka, seksualitas mereka, dan berbagai peran hidup. Mereka mulai mendefinisikan siapa mereka dan mulai mendapatkan rasa
diri dan identitas yang unik.
Pada titik ini dalam
hidup mereka bahwa mereka semakin
mengandalkan
pada penegakan hukum umpan balik dan kendali dari rekan-rekan mereka, bukan
dari orang tua, dan hubungan sosial menjadi penting. Seperti dengan konseling
sekolah dasar, konseling sekolah menengah semakin
menyeluruh, perkembangan, preventif, dan harus mengatasi
akademik siswa, karir, dan pengembangan pribadi/sosial. Berdasarkan Model
Nasional ASCA, layanan yang dibutuhkan untuk sekolah menengah siswa menawarkan perspektif konselor
sekolah menengah yang sedang diminta untuk transisi cara dia bekerja dengan
menggunakan Model Nasional.
c.
Konselor Sekolah Menengah Atas
Sebagai siswa sekolah
menengah atas, mereka mengambil langkah penting menuju masa dewasa karena
mereka menjadi lebih dekat dengan memasuki dunia kerja dan mulai mengalami
peningkatan kejelasan mengenai bagaimana mereka mendefinisikan diri mereka
sendiri. Siswa SMA lebih mampu menggambarkan nilai-nilai mereka, keterampilan,
dan kemampuan mereka. Pada saat yang sama, mereka semakin dipengaruhi oleh
rekan-rekan mereka dan akan menghadapi keputusan hidup yang penting mengenai
hal-hal seperti alkohol dan obat-obatan, perilaku seksual, dan pengembangan
hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Siswa-siswa akan menghadapi keputusan penting
tentang masa depan mereka, dan tekanan akademik akan sangat menimpa pada
mereka. Seperti dengan konseling sekolah dasar dan menengah, konseling SMA
terus berkelanjutan
mengenai,
perkembangan, preventif, dan harus mengatasi akademik siswa, karir, dan
pengembangan pribadi/sosial. Berdasarkan Model Nasional ASCA itu, dibutuhkan
layanan untuk siswa sekolah menengah yang menawarkan perspektif konselor
sekolah menengah yang sedang diminta untuk transisi cara dia bekerja dengan
menggunakan Model Nasional.
E.
Isu-Isu
Multibudaya
1.
Menciptakan Lingkungan Sekolah
Multikultural
Sekolah-sekolah
Amerika menjadi semakin beragam. Sebagai hasil dari perubahan demografi, dan
dengan meningkatnya fokus pada multikultural
di negara ini, konselor sekolah akan semakin tertantang untuk membuat sekolah
sensitif terhadap keberagaman. Secara khusus, mereka akan diharapkan untuk
membantu semua anak mengembangkan konsep diri yang sehat, menghormati
keragaman, dan mengembangkan sikap positif dan yakin menuju keberhasilan akademis.
Selain itu, konselor sekolah diharapkan dapat mempromosikan suasana
multikultural di sekolah-sekolah dengan
cara:
a. Menyediakan
lingkungan pendidikan yang kondusif untuk semua anak untuk hasil yang baik dalam mengurangi
kesenjangan prestasi.
b. Membantu
sekolah luas mendefinisikan keragaman untuk mencakup individu penyandang cacat, perbedaan agama, dan orientasi seksual,
serta orang-orang tua.
c. Menemukan
cara untuk membantu peningkatan jumlah siswa yang mengalami kesulitan berbicara dalam bahasa Inggris.
d. Menjamin
penggunaan buku teks budaya sensitif.
e. Menawarkan
lokakarya dan program untuk membantu siswa, guru, dan administrator untuk menjadi pecinta multikultural.
f. Mengevaluasi
bahan bimbingan untuk memastikan bahwa mereka tidak bias.
g.
Mengikutsertakan orang tua dalam pengalaman pendidikan anak mereka dengan agar mereka mampu memahami bahwa mereka berasal dari
latar belakang budaya yang
beragam.
h. Memahami
bagaimana latar belakang budaya siswa, dalam interaksi dengan lingkungan sekolah, yang mempengaruhi bagaimana siswa menafsirkan keadaannya.
i.
Menemukan cara
mendirikan konseling yang komprehensif dan program bimbingan perkembangan dan multikultural sensitif.
j.
Membantu sekolah
dalam mekanisme pengembangan bagi individu yang berasal dari beragam latar
belakang.
k. Menjadi
konselor sekolah multikultural mahir.
2. Menilai
Kompetensi Multikultural
Salah satu
cara yang dapat dilakukan konselor sekolah bahwa mereka menciptakan lingkungan yang multikultural adalah dengan melakukan analisis sistematis sekolah
mereka. Menawarkan daftar dari 51 item di sembilan kategori untuk
membantu konselor sekolah melakukan
hal ini. Kategori, yang
didasarkan pada "analisis tema"
isu-isu multikultural dalam konseling sekolah, adalah sebagai berikut:
1.
Multikultural konseling,
2. Multikultural konsultasi,
3. Pemahaman rasisme dan perlawanan mahasiswa,
2. Multikultural konsultasi,
3. Pemahaman rasisme dan perlawanan mahasiswa,
4.
Multikultural penilaian,
5.
Memahami perkembangan identitas ras,
6.
Keluarga multikultural konseling,
7.
Advokasi sosial,
8. Mengembangkan sekolah-keluarga-masyarakat kemitraan, dan
8. Mengembangkan sekolah-keluarga-masyarakat kemitraan, dan
9.
Pemahaman lintas-budaya
interaksi interpersonal.
Isu utama yang menjadi
perhatian para konselor multikultural di Amerika Serikat, terutama mereka yang
memiliki sudut pandang emik, adalah dominannya teori-teori yang berdasarkan
nilai-nilai budaya Eropa/Amerika Utara. Beberapa kepercayaan dominan dari
Eropa/Amerika utara adalah nilai-nilai individual, pemecahan masalah yang
berorientasi pada tindakan,
Isu kedua dalam
konseling multikultural adalah sensitifitas terhadap budaya secara umum dan
khusus. Pedersen (1982) percaya bahwa sangat penting bagi konselor untuk
sensitif terhadap tiga area berikut dalam isu budaya:
1. Pengetahuan
akan cara pandang klien yang berbeda budaya
2. Kepekaan
terhadap cara pandang pribadi seorang dan bagaimana seorang merupakan produk
dari pengkondisian budaya
3. Keahlian
yang diperlukan untuk bekerja dengan klien yang berbeda budaya.
Isu Ketiga adalah
memahami cara kerja sistem budaya dan pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Konselor yang memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang sistem budaya biasanya
akan lebih ahli dalam membantu anggota dari kelompok budaya tertentu.
Isu keempat dalam
konseling multikultural adalah menyediakan layanan konseling lintas budaya yang
efektif Sue (1978) membuat lima panduan untuk konseling lintas budaya yang
efektif, yang masih aplikatif hingga sekarang:
1. Konselor
mengenali nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka pegang sehubungan dengan
tingkah laku manusia yang diinginkan dan diterima. Mereka kemudian akan dapat
mengintegrasikan pengertian ini kedalam tingkah laku dan perasaan yang tepat.
2. Konselor
menyadari kualitas dan tradisi dari teori konseling yang umum dan bersifat
kultural. Tidak ada metode konseling yang bebas dari pengaruh budaya.
3. Konselor
mengerti lingkungan sosial politik yang telah mempengaruhi kehidupan para
anggota kelompok minoritas. Manusia adalah produk dari keadaan di mana mereka
hidup.
4. Konselor
mampu berbagi cara pandang dari klien dan tidak menanyakan keabsahannya.
Isu terakhir dalam konseling multikultural adalah
perkembangan dan penggunaan teori-teori konseling. Bias kultural terjadi pada
konselor dari kalangan mayoritas maupun mnoritas (wendel,1997) dan dulu telah
masuk ke dalam teori-teori konseling. Untuk menghadapi bias,teori-teori
konseling yang berbatas secara budaya, dan untuk membantu melampaui batasan
kultural, McFadden (1999) dan sejumlah pendidik konselor terkemuka telah
menemukan cara untuk mengatasi ide-ide dan metode yang dikembangkan sebelum
adanya kesadaran tentang perlunya konseling multikultural.
Model Mcfadden adalah perspektif lintas budaya yang
berfokus pada tiga dimensi utama yang harus dikuasai konselor, yaitu :
-
Kultural-historikal, yakni konselor
harus menguasai pengetahuan akan budaya klien.
-
Psikososial, yakni konselor harus
memahami etnik, ras, performa, percakapan, tingkah laku kelompok sosial dari
klien agar bisa memiliki komunikasi yang bermakna.
-
Saintifik-ideologikal, yakni konselor
harus menggunakan pendekatan konseling yang tepat untuk menghadapi masalah yang
terkait dengan lingkungan regional, nasional, dan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ed Neukrug (2007).The World of The Counselor :An
Intruduction to the Counseling Profession. United States: Thomson Brooks/Cole.
Page 445-474
Samuel T.Glading
(2012). Konseling: Profesi yang Menyeluruh. Jakarta:
Permata Puri Media. Hal.459-494
0 Response to "Sejarah Konseling Sekolah"
Post a comment