Pengertian Teori, Pentingnya Teori, dan Teori ke Praktik
2.1
Pengertian Teori, Pentingnya Teori, dan Teori ke Praktik
2.1.1.
Pengertian
Teori
Teori adalah model yang dipergunakan oleh konselor
sebagai sebagai panduan untuk merumuskan pembentukan solusi atas suatu masalah.
“Pemahaman teoritis adalah bagian esensial dalam praktik konseling yang
efektif. Teori membantu konselor mengatur data klinis, membuat proses yang
kompleks menjadi koheren, dan memberikan panduan konseptual untuk berbagai intervensi”
(Hensen, 2006, p.291). Konselor menentukan teori yang akan digunakan
berdasarkan latar belakang pendidikan, filosofi, dan kebutuhan kliennya. Tidak
semua pendekatan tepat digunakan bagi semua konselor maupun klien. Sebagian
besar teori konseling dikembangan oleh para praktisi luar biasa, yang
memformulasikan gagasan mereka berdasarkan pengalaman observasinya. Akan tetapi
kebanyakan ahli teori masih merasa kurang yakin mengenai posisi mereka, setelah
sadar bahwa tidak ada satupun teori yang cocok untuk ditetapkan pada semua
situasi ataupun klien (Tursi & Cachran, 2006). Memeng benar, satu teori
tidak lagi mencukupi untuk satu klien yang sama setelah periode tertentu.
Konselor harus memilih teori yang digunakannya dengan hati-hati dan menilai
ulang secara berkala.
Beberapa model teori lebih komperhensif disbanding
yang lain dan “semua teori terbelit dengan budaya, politik, dan bahasa”
(Hansen, 2006, p.293). Konselor yang efektif menyadari hal ini, dan sigap dalam
memilih teori yang paling komprehensif dan atas alasan apa digunakan. Dia
mengetahui bahwa teori yang digunakan menentukan apa yang dia lihat dan
bagaimana penggunaannya di dalam konseling dan, bahwa teori tersebut dapat
dikatalogakan dalam beberapa cara termasuk kategori modernism dan
post-modernisme. Hansen, Stevic, dan Warner (1986) menyebutkan lima persyaratan
teori yang baik:
a) Jelas,
mudah dipahami, dan dapat dikomunikasikan. Koheren dan tidak bertentangan.
b) Komprehensif.
Mencakup penjelasan untuk fenomena yang sangat beragam.
c) Eksplisit
dan heulistik. Menghasilkan penelitian karena desainnya.
d) Spesifik
dalam menghubungkan penngertian pada hasil yang diinginkan. Berisi suatu cara
untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan (contoh, pragmatic)
e) Berguna
bagi praktisi yang akan menggunakannya. Memberikan panduan bagi penelitian dan
praktikya.
Sebagai
tambahan lima kualitas tersebut, suatu teori yang baik bagi konselor adalah
yang cocok dengan filosofi pribadinya dalam memberikan bantuan. Shertzer dan
Stone (1974) menyebutkan bahwa teori konseling harus cocok dengan konselornya
seperti ibarat pakaian. Beberapa teori, seperti layaknya baju, membutuhkan
perombakan. Oleh karena itu, konselor yang efektif menyadari pentingnya
perubahan. Konselor yang ingin bekerja efektif dan pandai menyesuaikan diri
harus mempelajari beragam teori konseling, dan mengetahui bagaimana cara
penerapannya tanpa menyalahi konsensi internalnya (Auvenshine & Noffsinger,
1984).
2.1.2.
Pentingnya
Teori
Teori adalah fondasi konseling yang baik. Teori
menantang konselor untuk lebih kreatif dan peduli dalam batasan-batasan
hubungan sangat pribadi yang terstruktur demi kemajuan dan pencerahan
(Gladding, 1990b). Teori mempunyai dampak pada bagaimana komunikasi klien
dikonsepsikan, bagaimana hubungan antarpribadi di kembangkan, bagaimana etika
professional diterapkan, dan bagaimana konselor memandang dirinya sebagai
profesinal. Tanpa latar belakang teori, konselor bertindak coba-coba tanpa
arah, tidak efektif, dan mambahyakan. Brammer dan kawan-kawan (1993) menekankan
nilai pragmatis dari teori yang diformolasikan secara solid bagi konselor.
Terori membantu menjelaskan apa yang
terjadi dalam suatu hubungan konseling dan membantu konselor meramalkan,
mengevaluasi, dan meningkatkan hasil. Teori memberikan kerangka kerja dalam
membantu observasi ilmiah mengenai konseling. Penggunaan teori meningkatkan
koherensi gagasan mengenai konseling menghasilkan gagasan-gagasan baru. Meski
demikian teori konseling mudah dipraktikkan, dengan cara membantu menjelaskan
observasi konselor tersebut.
Boy dan Pine (1983) menguraikan detail dari nilai
praktis suatu teori dengan menyebutkan bahwa teori adalah kata mengapa di
belakang bagaimana peranan konselor, teori memberikan suatu kerangka di mana
konselor dapat berfungsi. Konselor yang dipadu oleh teori dapat memenuhi
tuntutan perannya, karena mempunyai alasan untuk apa yang dia lakukan. Boy dan
Pine menunjukkan enam fungsi teori yang membantu konselor dengan cara yang
praktis:
a) Teori
membantu konselor menemukan persatuan dan kesinambungan dalam perbedaan iksistensi.
b) Teori
mamaksa konselor untuk mengamati hubungan yang mungkin dia lewatkan sebelumnya.
c) Teori
memberikan pada konselor panduan operasional untuk digunakan dalam bekerja dan
membantu konselor mengevaluasi perkembangannya sebagai seseorang professional
d) Teori
membantu konselor memusatkan diri pada data yang relevan dan menunjukkan apa
yang harus dicari.
e) Teori
membantu konselor dalam membantu klien mengubah perilakunya secara efektif.
f) Teori
membantu konsselor mengevaluasi pendekatan lama dan baru pada proses konseling.
Ini adalah basis untuk membangun pendekatan konseling yang baru.
“Kriteria
utama bagi semua teori konseling adalah bagaimana teori dapat memberikan
penjelaskan atas apa yang terjadi pada proses konseling” (Kelly, 1988,
p.212-213). Nilai teori sebagai cara untuk mengatur informasi “bergantung
seluruhnya pada tingkat penerapannya dalam realitas kehidupan manusia” (Young,
1988, p.336).
2.1.3.
Teori
ke Praktik
Pada tahun 2008, terdapat lebih dari 400 sistem
psikoterapi dan konseling di seluruh dunia (corsini,2008). Jadi, konselor
mempunyai ragam pilihan teori yang luas untuk dipilih. Konselor yang efektif
akan meneliti bukti keefektifan teori-teori yang ada dan mencocokkannya dengan
kenyataan pribadinya dan realitas mengenai sifat manusia serta perubahan.
Bagaimanapun juga, seperti dikatakan Okun (1990),
yang ditekannkan dalam konseling saat ni adalah menghubungkan teori, bukannya
menciptakan. Penekanan ini terbangun dalam asumsi fundamental bahwa “tidak satu
pun sudut pandang teoritis yang dapat menyediakan semua jawaban bagi klien kita
saat ini” (p.xvi). lebih jauh lagi, konselor tampaknya secara prakmatis, luwes
mengadaptasikan teknik dan intervensi-intervensi dari pendekatan teoritis yang
berbeda ke dalam pekerjaannya, tanpa benar-benar menerima dasar sudut pandang
beberapa teori. Praktik ini tampaknya menjadi suatu keharisan karena konselor
harus mempertimbangkan factor internal, eksternal, antarpersonal, dan
interpersonal katika bekerja bersama klien, dan hanya beberapa teori saja yang
menggabumngkan semua dimensi ini menjadi satu.
Kebanyakan konselor professional masa kini
(diperkirakan 60% hingga 70%) menganggap dirinya eklektik dalam menggunakan
teknik dan teori (Lazarus & Beutler, 1993). Yaitu, menggunakan teknik dan
teori untuk dicocokkan dengan kebutuhan klien dengan “rata-rata 4,4 teori
digunakan untuk kerja terapeutiknya dengan klien” (Cheston, 200, p. 254).
Sewaktu kebutuhan berubah, konselor pindah dari satu teori yang mereka gunakan
ke pendekatan lainnya (suatu fenomena yang disebut konseling berganti-gaya). Perubahan yang dilakukan oleh konselor
berhubungan dengan tingkat perkembangan klien (Ivey, Ivey, Myers & Sweeney,
2005). Agar efektif, konselor harus mempertimbangkan seberapa jauh kliennya
telah mengalami kemajuan dalam perkembangan structural, seperti yang
digambarkan oleh Jean Piaget. Contohnya, seorang klien yang tidak sadar akan
perkembangan lingkunganya membutuhkan pendekatan terapi yang terfokus pada
“emosi, tubuh, dan pengalamannya di sini dan sekarang”; sementara klien dengan
tingkatan perkembangan yang lebih maju akan cocok jika diberi pendekatan
“operasi konsultasi-formal”, yng meneknkan pada pemikiran mengenai tindakan
(Ivey & Goncalves, 1988, p. 410). Intinya adalah bahwa konselor dan teori
harus dimulai dari tempat klien berada, membantu klien berkembang dalam pola
yang benar dan utuh.
Sementara kekuatan elektik terletak pada
kemampuannya untuk menarik teori, teknik, dan praktik yang beragam untuk
dicocokkan dengan kebutuhan klien, pendekatan ini juga memiliki kekurangan.
Contohnya, pendekatan elektik dapat membahayakan proses konseling jika konselor
tidak familiar benar dengan sumua aspek yang terlibat di sini. Dalam situasi
semacam itu konselor akan menjadi teknisi tanpa memahami mengapa pendekatan
tertentu bekerja dengan baik dengan klien tertentu saat tertentu dan cara
tertentu (Cheston, 2000). Pendekatan tanpa belajar dari konselor yang kurang
berpendidikan ini kadang-kadang dinamai secara sarkastik sebagai “elektrik;
yaitu, konselor mencoba semua cara dan metode yang “merangsangnya”. Masalah
yang ada dalam orientasi eklektik adalah bahwa konselor lebih sering melakukan
sesuatu yang membahayakan bagi proses konseling daripada mendatangan hasil yang
baik jika dia hanya mempunyai sedikit pemahaman atau sama sekali tidak memahami
apa yang dapat membantu klien.
Untuk menghadapi masalah ini, McBride dan Martin
(1990) menyarankan adanya hierarki praktik eklektik dan mendiskusikan
pentingnya mempunyai dasar teoritis yang kuat sebagai panduan. Tingkatan paling
rendah atau pertama dari eklektisme adalah sinkrestima- proses penyatuan
konsep-konsep yang tidak berhubungan secara tidak sistematis dan sembrono. Ini
terjadi jika siswa lulusan dipacu untuk mempformulasikan teori konseling mereka
sendiri tanpa terlebih dahulu mencoba bagaimana hasil dari model yang telah
diuji. Tingkat eklektisme yang kedua adalah tradisional. Yaitu “menggabungkan
secara teratur fiturfitur kompatibel dari berbagai sumber yang luas [menjadi]
ke dalam keutuhan yang harmonis” (English & English, 1956, p. 168). Dibandingkan
sinkretisma, hal tersebut lebih dipikirkan dam teorinya diperiksa secara
mendalam.
Pada tingkat ketiga, eklektisme digambarkan sebagai
professional atau teoretis atau sebagai integrasionisme teoritis (Lazarus &
Beutler, 1993; Simon, 1989). Tipe eklektisme ini mengaruskan para konselor
menguasai setidaknya dua teori sebelum mencoba mengkombinasikannya. Kendala
yang ada pada pendekatan ini adalah bahwa pendekatan ini mengamnggap
teori-teori tersebut memiliki derajat kesetaraan (yang mungkin tidak benar) dan
eksistensi kriteria “untuk menentukan porsi atau potonngan teori apa yang harus
dipertahankan atau dibuang” (Lazarus & Beutler, 1993, p.382). Hal tersebut
berbeda dari model tradisional yang tidak membutuhkan pengusaan teori.
Tingkat keempat eklektisme disebut eklektisme,
teknikal, diilustrasikan dalam pekerjaan Arnold Lazarus (2008) dan pendekatan
konseling multimodalnya yang menilai apa yang dia uraikan sebagai tujuh elemen
pengalaman klien. Vector-vektor tersebut diringkas dalam akronim BASIC ID: Behavior
(perilaku) Affect (pengaruh) Sensation (sensasi) Imagery (gambaran) Cognitions
(kognisi) Interpersonal relationships (hubungan antarpribadi) Drugs
(obat-obatan)
Dalam pendekatan ini dipilih dan digunakan prosedur
dari teori-teori yang berbeda dalam perawatan “tanpa perlu dilakuakan
penambahan pada teori aslinya” (Lazarus & Beutler, 1993, p. 384). Di sini
gagasannya adalah bahwa teknik, bukan teori, yang sebenarnya digunakan dalam
merawat klien. Pendekatan ini segaris dengan apa yang disarankan oleh Cavanagh
(1990) sebagai suatu pendekatan eklektik yang sehat pada konseling. Disini
konselor harus mempunyai (aZ) pengetahuan
yang cukup dan pemahaman akan teori konseling yang digunakannya, (b)
filosofi dasar yang integrative akan perilaku manusia yang membawa
bagian-bagian terpisah dari berbagai teori ke dalam kombinasi yang memiliki
arti, dan (c) cara yang fleksibel untuk mengikuti model ini dapat bekerja
secara pragmatic dan efektif dalam suatu kerangka eklektik. Variable penting menjadi
konselor eklektif yang sehat adalah pengusaan teori dan sensitivitas yang
tinggi untuk mengetahui pendekatan apa yang harus digunakan kapan, dimana, dan
bagaimana (Harman, 1997)
Tipe pendekatan eklektik yang tekakhir adalah model transteoretis,
dari pengubahan (TTM) (Norcross & Beutler, 2008; Prochaska &
DiClemente, 1992). Model ini berfokus pada arah dan memperkenalkan lima tahap
perubahan prakontemplasi sampai pemeliharaan. Terdapat juga lima tingkatan
prubahan:
a) simtom/masalah
situasional,
b) kognisi
kesalahan adaptif,
c) konflik
antarpribadi saat ini,
d) konflik
sistem keluarga, dan
e) konflik
intrapribadi,
“Konseling dari prespektif TTM memungkinkan
pendekatan yang lebih makroskopik (milibatkan kerangka teoritis yang luas dan
komprehensif) dan adaptif personal (melibatkan peningkatan pemikiran yang
logis, akurat, ilmiah, dan kritis) daripada penyesuaian personal” (Petrocelli,
2002, p.25). kekurangan utamanya terletak pada kelengkapan dan kerumitan serta
fakta bahwa TTM hanya pernah diuji dalam kelompok yang terbatas (misalnya, popolasi
terpadu).
2.3.1
Teori
Sistem
Teori sistem adalah istilah umum untuk mengonsepkan
sekelompok elemen yang saling berhubungkan (misalnya, orang), yang berinteraksi
sebagai satu entitas yang utuh (misalnya, kelompok atau keluarga). Sebagai
sebuah konsep, teori sistem”lebih mirip pada suatu cara berpikir daripada teori
yang koheren dan standar.”(Worden, 2003 p.8). Pembuat teori sistem adalah
Ludwig von Bertalanffy (1968), seorang ahli biologi. Menurut teori tersebut,
semua organism yang hidup tersusun atas komponen-komponen yang berinteraksi
secara mutual, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tiga asumsi dasar yang
membedakan teori sistem dari pendekatan konseling lainnya.
- Penyebab
interpersonal
- “sistem
psikologis sebaiknya dipahami sebagai pola interaksi interpersonal yang
berulang,”dan
- “Perilaku
simtomik harus….dipahami dari suatu sudut pandang interaksional” (Sexton,
1994, p.250)
Jadi, focus sistem teori secara umum adalah
bagaimana interaksi dari bagian-bagian dapat mempengaruhi operasi sistem
tersebut secara keseluruhan. Penyebab
Sirkular adalah salah satu dari konsep utama yang dikenalkan oelh teori
ini: gagasan adalah bahwa peristiwa-peristiwa saling berhubungan melalui
serentetan umapn balik yang berhubungan. Di sini pengkambing-hitaman (seseorang ditunjuk sebagai penyebab suatu
masalah) dan penyebab linear
(seseorang dipandang sebagai penyebab untuk orang lain) dihilangkan. Ada
sejumlah pendekatan konseling yang didasarkan pada teori sistem. Salah satunya
adalah teori sistem Bowen, yang dikembangkan untuk membantu orang membedakan
dirinya dari keluarganya. Terapi keluarga structural adalah teori kedua yang
berfokus pada menciptakan batasan yang sehat. Pendekatan ketiga, terapi strategi,
berasal dari penelitian Milton Erickson dan mempunyai banyak variasi, yang
dapat diterapkan dalam berbagai cara.
2.3.3.1 Sistem Teori Bawen
Penemu atau pengembang, Salah satu pendekatan sistem terawal untuk bekerja bersama klien,
khususnya anggota keluarga, yang diciptakan oleh Murray Bowen (1913-1990).
Menurut Bowen, yang mempunyai permasalahan pribadi dengan keluarganya, individu
yang tidak mempelajari dan memperbaiki pola yang diwariskan dari generasi
sebelumnya, cenderung akan mengulanginya di dalam keluarganya sendiri. (Kerr,
1988)
Sistem Teori Bowen
Penemu/
pengembang. Murray Bowen
(1913-1990). Sudut Pandang Tentang Sifat Manusia. Bowen percaya bahwa ada ansietas kronis di dalam semua kehidupan
yang bersifat fisik dan emosional. Peranan Konselor adalah untuk melatih dan mengajar klien agar lebih kognitif saat
berhadapan dengan orang lain. Tujuan konselor yakni klien akan memahami dan
mengubah strategi dan polanya dalam menghadapi stres yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Teknik pada teori Bowen difokuskan pada cara untuk
menciptakan seseorang individu dengan konsep diri yang sehat, yang mampu
berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami ansietas berlebih, setiap
kali hubungannya mengalami tekanan. Teknik lainnya difokuskan pada proses kognitif,
seperti mengajukan pertanyaan berdasarkan
kepuasan keluarga seseorang (Bowen, 1976).Teknik ini juga berfokus pada detriangulasi, yang melibatkan”proses
berhubungan dan terpisah secara emosional” dengan orang lain. Kekuatan dan
Kontribusi teori ini adalah :
a. Pendekatan
ini berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan pentingnya memahami dan
menghadapi pola-pola di masa lalu, agar dapat menghindari pengulangan tingkah
laku tertentu dalam hubungan antarpribadi.
b. Pendekatan
ini menggunakan genogram dalam memplot hubungan riwayat, yang merupakan alat
spesifik yang asalnya dari pendekatan Bowen. Sekarang alat ini telah menjadi
instrument yang digunakan oleh banyak pendekatan lain.
c. Penekanan
kognitif pada pendekatan ini dan fokusnya pada pembedaan diri dan
detriangulasi.
Keterbatasan
teori ini adalah:
a. Pendekatan
ini kompleks dan ekstensif. Teorinya tidak dapat dipisahkan dari terapi, dan
jalinan tersebut membuat pendekatan ini lebih mempunyai keterlibatan daripada
kebanyakan pendekatan terapi lainnya.
b. Klien
yang dapat memetik keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah yang
mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.
c. Pendekatan
ini memerlukan investasi yang cukup besar pada berbagai tingkatan, yang mungkin
sebagian klien tidak mau atau tidak bisa melakukannya.
2.3.3.1 Konseling
Keluarga Struktural
Penemu/ pengembang konseling keliarga structural adalah Salvador Minuchin (1921-). Sudut pandang tentang sifat manusia menurut
Minuchin (1974), setiap keluarga mempunyai struktur. Struktur adalah cara tak
resmi, di mana suatu keluarga mengatur dirinya dan saling berhubungan. Peranan
konselor adalah pengamat sekaligus ahli dalam menciptakan intervensi untuk
mengubah dan memodifikasi struktur yang mengarisbawahi suatu keluarga. Tujuan
konseling agar dapat mengubah dan mengatur ulang suatu keluarga agar menjadi
unit yang lebih berfungsi dan produktif. Salah satu teknik paling utama adalah
bekerja dengan interaksi keluarga. Teknik structural lainnya adalah: pengtuasi,
ketidakseimbangan, presentasi, membuat batasan, intensitas, restrukturasi, dan
menambahkan konstruksi kognitif.
Kekuatan
dan Kontribusi
a. Pendekatan
ini cukup fleksibel, cocok diterapkan untuk keluarga dengan status ekonomi
rendah maupun keluarga dengan penghasilan tinggi.(Minuchin, Colapinto,&Minuchin,
1999)
b. Pendekatan
ini efektif, sudah digunakan untuk merawat criminal remaja, alkoholik, dan
penderita anoreksia.
c. Pendekatan
ini peka budaya dan tepat digunakan dalam berbagai budaya.
d. Pendekatan
ini jelas dalam definisi istilah-istilahnya, dan serta mudah diterapkan.
e. Menekankan
penghilangan simton dan reorganisasi keluarga dengan cara yang pragmatis.
Keterbatasan
a. Banyak
kritik yang mengatakan bahwa pendekatan ini tidak cukup kompleks, bersifat
gender pada saat tertentu, dan terlalu berfokus pada masa sekarang.
b. Tuduhan
bahwa terapi structural telah dipengaruhi oleh terapi keluarga strategis dan
tuntutan bahwa pendekatan ini sulit untuk dibedakan dari terapi strategis pada
saat tertentu, akan menjadi suatu masalah.
c.
Karena konselor adalah
yang berwenang pada proses perubahan, keluarga tidak diperdayakan sepenuhnya, hal
ini dapat membatasi penyesuaian dan perubahan secara keseluruhan di masa
datang.
2.3.3.3 Konseling Strategis (Singkat)
Penemu/ pengembang konseling strategis adalah Joeh
Weakland, Paul Wazlawick, Jay Haley, Cloe Madanes, dan Milan Group yang
merupakan pemimpin penting dari sekolah strategis. Sudut Pandang tentang Sifat
Manusia adalah upaya untuk membantu
orang beradaptasi. Konselor strategis mempunyai pandangan yang sistemik terhadap
masalah tingkah laku, dan berfokus pada prosesnya bukan inti dari interaksi
disfungsional. Tugas dari konselor strategis adalah membuat orang mencoba
tingkah laku yang baru, karena tingkah laku yang lama tidak dapat bekerja
dengan baik. Tujuannya untuk memecahkan, menyingkirkan, atau memperbaiki
tingkah laku yang bermasalah yang dibawa dalam konseling. Teknik yang digunakan
adalah:
a. Pelabelan
ulang (memberikan presfektif baru pada suatu tingkah laku).
b. Paradoks
(memaksakan kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh seseorang)
c. Menggambarkan
simtom (meminta keluarga atau pasangan untuk menunjukkan secara suka rela apa
yang mereka manifestasikan secara tidak
sadar sebelumnya).
d.
Pura-pura
untuk meminta klien membuat perubahan.
Kekuatan
dan Kontribusi:
a. Banyak
dari trapis tersebut bekerja dalam tim
b. Sifat
dari pendekatan ini pragmatis dan fleksibel, dan sebagainya.
c. Fokus
praktisioner adalah pada inovasi dan kreativitas.
d. Penekanan
dalam pendekatan ini adalah untuk mengubah persepsi di dalam diri orang,
sebagai cara mengasuh tingkah laku baru.
e. Secara
sengaja dilakukan upaya membereskan satu masalah terlebih dulu dan membatasi
jumlah sesi dengan klien, sehingga focus dan motivasi untuk melakukan sesuatu
secara berbeda dapat meningkat.
f. Pendekatan
ini dapat dimodifikasi dan diterapkan ke dalam berbagai lingkungan.
Keterbatasan
a. Beberapa
fondasi dan teknik utamanya saling bertumpuk dengan sistem lain dan teori,
terapi singkat.
b. Beberapa
pendirian bersifat kontroversial.
c. Ditekankannya
keahlian dan kekuasaan konselor di dalam pendekatan strategis membuat klien
tidak mendapatkan kebebasan, atau kemampuan sebesar yang semestinya.
2.3.2
Pendekatan
Konseling Singkat (Brief Counseling)
2.3.4.1 Konseling Berfokus Solusi.
Penemu/ pengembang adalah Steve deShazer dan Bill
O’Hanlon. Sudut pandang tentang sifat manusia konseling ini berfokus solusi
tidak mempunyai pandangan komprehensif tentang sifat manusia, tetapi berfokus
pada kekuatan dan kesehatan klien. Peranan konselor ialah menentukan seberapa
besar komitmen dan keaktifan klien untuk menjalani proses perubahan. Tujuannya
membantu klien mengenal sumber daya dalam dirinya dan menyadari pengecualian di dalam dirinya pada saat
dia bermasalah. Teknik konseling
berfokus solusi merupakan suatu proses kolaborasi antara konselor dan klien.
Kekuatan
dan Kontribusi.
a. Singkatnya
waktu konseling
b. Fleksibel,
mempunyai banyak riset
c. Digunakan
kepada klien yang berbeda-beda
d. Perubahan
kecil pada tingkah laku, dan sebagainya.
Keterbatasan
a. Hampir
tidak memperhatikan riwayat klien.
b. Kurang
memfokuskan pencerahan
c. Perawatannya
mahal karena menggunakan tim.
2.3.4.2 Konseling Naratif.
Penemu/
Pengembang adalah Michael White dan
David Epston (1990). Sudut pandang tentang manusia. Pengetahuan dibentuk dari
interaksi sosial. Konselor sebagai kolaborator dan ahli dalam memberikan
pertanyaan. Tujuan klien menjalani terapi naratif. Teknik yang digunakan adalah
:
a. Eksternalisasi
masalah, berarti memisahkan seseorang dari suatu masalah dan membedakan
kesulitan; sehingga sumber daya klien dapat difokuskan pada bagaimana suatu
situasi.
b. Memunculkan
dilemma, sehingga klien mengamati aspek-aspek yang mungkin terjadi suatu
masalah sebelum kebutuhannya meningkat.
c. Prediksi
kemunduran, sehingga klien dapat memikirkan apa yang harus dilakukan jika ada
kesulitan
d. Menulis
ulang kehidupan merupakan fokus utama perawatan.
Kekuatan
dan Kontribusi
a. Menghilangkan
tuduhan dan menghasilkan dialog, ketika semua orang bekerja untuk memecahkan
masalah bersa
b. Klien
menciptakan kisah baru dan kemungkinan tindakan yang baru.
c. Pengecualian
masalah disoroti seperti dalam terapi berfokus solusi.
d. Klien
dipersiapkan sebelum menghadapi kemunduran, dsb.
Keterbatasan
a. Pendekatan
ini cukup rumit dan tidak bekerja baik untuk klien yang intelektualnya kurang
memadai.
b. Tidak
ada norma yang mengatur akan menjadi siapa klien nantinya.
c. Sejarah
masalah tidak dibahas sama sekali.
2.3.4.3 Pendekatan Konseling Krisis
Konseling
krisis adalah penggunaan beragam pendekatan langsung dan berorientasi pada
tindakan, untuk membantu individu menemukan sumber daya di dalam dirinya menghadapi
krisis secara eksternal.
2.3.3
Konseling
Krisis
Penemu/
pengembang adalah Erich Lindemann (1944-1956) dan Gerald Caplan (1964). Sudut pandang
tentang sifat manusia. Kehilangan adalah bagian kehidupan yang tidak dapat
dielakkan. Tujuannya adalah memberikan
bantuan segera dan dapat berbagai bentuk kepada orang yang membutuhkan. Peranan
konselor adalah mendorong ndividu matang dalam kepribadian dan memiliki banyak pengalaman
kehidupan yang telah dia hadapi dengan sukses. Teknik konseling krisis dilakukan
secara mengalir dan kontinu. Setelah penilaian, ada tiga aktivitas mendengarkan
yang esensial, yang harus diterapkan.
a. Mendefinisikan masalah,
khususnya dari sudut pandang klien
b. Memastikan keselamatan
klien, meminimalkan bahaya psikologis dan fisik
pada klien atau orang lain.
c. Menyediakan dukungan, artinya
berkomunikasi dengan klien secara tulus dan peduli tanpa pamrih.
Kekuatan
dan Kontribusi
a. Singkat
dan langsung
b. Tujuan
dan maksud yang sederhana karena sifat krisis yang tiba-tiba dan atau
traumatis.
c. Bergantung
pada intensitas, yang lebih besar daripada bentuk konseling biasa
Keterbatasan
a. Tidak
memberikan resolusi yang mendalam.
b. Harus
dilakukan dengan cepat.
c. Lebih
terbatas waktu.
0 Response to "Pengertian Teori, Pentingnya Teori, dan Teori ke Praktik"
Post a Comment