Pengertian Etik, Moral dan Hukum Dalam Konseling
Pengertian
Etik, Moral dan Hukum
Gladding
(2012) mendefinisikan etik sebagai suatu filsafat mengenai tingkah laku dalam
pengambilan keputusan moral, yang bersifat normatif dan berfokus pada prinsip
serta kaidah standar yang mengatur hubungan antar individu. Langkah, ucap, dan pikir manusia sebagai
makhluk sosial tidak pernah terlepas dari aturan-aturan normatif yang megikat
dan telah disepakati bersama sebagai nilai yang harus dijinjung tinggi dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
Donald H. Blocher (1996) mendefiniskan etika sebagai prinsip-prinsip atau
standar perilaku yang didasarkan pada kaidah umum yang dapat diterima atau
disepakati bersama. Karena etika
bersifat normatif, maka jika seseorang tidak mengindahkan kesepakatan aturan
tersebut maka niscaya keberadaan orang tersebut akan diasingkan atau bahkan
dikeluarkan dalam suatu sistem komunitas.
Jika
etika berbicara mengenai kerangka yang membingkai suatu perilaku, maka hasil
dari proses ketaatan etika itu disebut sebagai moral. Terdapat proses memberikan nilai serta
mengevaluasi perbuatan dalam definisi moralitas, dimana kata yang familier kita
dengar yakni; baik, buruk, benar, maupun salah adalah salah satu bentuk
ungkapan ekspresi dari proses pemberian nilai dari suatu perbuatan yang merujuk
pada kesesuaian etika itu sendiri (Brandt, 1959; dan Grant, 1992 dalam Gladding
2012). Lebih lanjut lagi Donald H.
Blocher (1996), mengemukakan bahwa ketika manusia dalam sebuah kelompok
melakukan aktifitas kehidupan bersama yang melibatkan banyak unsur atau elemen,
terlebih adanya unsusr kepercayaan serta keyakinan publik, maka perlu adanya
kesepakatan suatu nilai. Nilai tersebut
difungsikan untuk mengarahkan struktur perilaku anggota dalam kelompok tersebut
pada suatu capaian hubungan antar individu yang kondusif.
Tatanan yang kondusif dari suatu kehidupan tidak hanya
berhenti pada aplikasi etika serta moral yang notabene bersifat normatif atas
dasar kesepakatan pemahaman masyarakat dalam memberikan penilaian pada
perilaku. Perlu adanya suatu aturan
secara eksplisit maupun implisit yang syah dari institusi berwenang sebagai
perangkat negara atau pemerintah.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan di suatu negara atau wilayah
memformulasikan aturan-aturan yang didalamnya terdapat unsur etika dan moral
masyarakat, dalam suatu kemasan perundang-undangan. Hukum adalah penyususnan yang akurat dari
standar pemerintah yang dibuat untuk menjamin keadilan legal dan moral (Hummel,
Talbutt, Alexander, 1985 dalam Gladding, 2012).
Lebih lanjut lagi Gladding (2012) menegaskan bahwasannya hukum tidak
mendikte etika apa yang pantas untuk situasi tertentu, tetapi apa yang legal
dalam situasi tersebut. Hukum lebih
menitik beratkan pada pandangan legalitas atau keabsahan situasi dari kacamata
birokratif atau kebijakan pemerintah.
Dalam beberapa situasi, hukum tidak lagi memandang etika, budaya dan
moralitas yang bersifat normatif meskipun pada prinsipnya hukum juga dilahirkan
dan dirumuskan dari hal tersebut.
Sehingga seringkali ditemukan kontraversi antara kebijakan hukum yang
diterapkan, dengan kultur yang telah mengakar di masayarakat.
Akhirnya kita dapat membedakan antara etika, moralitas,
dan hukum dari pemaparan di atas. Dengan paham atas sekat pembeda dari
pengertian-pengertian di atas, maka diharapkan konselor mampu mencitrakan dirinya
sebagai insan teladan yang senantiasa berpedoman pada nilai-nilai etik hingga
menunjukan kualitas moral yang baik. Harapan selanjutnya adalah konteks serta ekspektasi kerja
konselor yang senantiasa terbingkai dalam proteksi legalitas di bawah asosiasi
yang menangani ataupun pemerintah selaku pembuat kebijakan.
B.
Kode
Etik dan Standar Profesional
Etika
dalam suatu profesi akan selalu memandang keberadaan profesi lain, seperti
halnya profesi lain yang mempertimbangkan profesi Konselor. Artinya kode etik yang dirancang dalam
tatanan keprofesian tidak muncul dengan begitu saja. Standar
etika itu muncul dari pengakuan
individu yang mewakili profesi dan melakukan
upaya-upaya sebagai bentuk penghormatan para anggota profesi tersebut melalui
asosiasi yang menaunginya.
Fungsi asosiasi sebagai
organisasi profesi juga menyediakan forum
pertemuan bagi para praktisi dan peneliti, mereka juga memainkan peran politik
dalam advokasi untuk profesi tersebut.
Komunikasi
serta kinerja yang ada di dalam tubuh organisasi profesi
dikawal dan dipandu oleh
standar (kode ethical) yang bertindak untuk meminimalkan atau mencegah hal-hal
yang merugikan organisasi progesi ietu sendiri, para praktisi
profesi, akademisi atau ilmuwan, serta individu yang
dilayani profesi tersebut. Sebuah profesi tanpa standar etika justru perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Oleh karena itu, konselor harus peka terhadap isu-isu yang berkembang dari ranah politik
dan birokrasi yang mengatur profesionalisasi
dalam konseling.
Keefektifan
konselor berhubungan dengan pengetahuan etik dan tingkah laku mereka (Welfel
dalam Gladding, 2012). Kinerja konselor
tercermin pada seberapa besar konselor tersebut mengamalkan pemahaman etik yang
mereka miliki. Seringkali konselor dihadapkan
dengan dilema etis, kontraversi yang
muncul akibat perbedaan pemahaman mengenai standar moralitas seringkali
mewarnai praktik konseling. Konselor perlu menaruh kepedulian lebih
terhadap standar etika profesional. Konselor perlu dididik seperti apa praktik yang
dianggap diterima dan kompeten dalam bidang konseling secara umum, maupun praktik konseling
secara khusus. Konselor harus tahu kapan dilema etika timbul sehingga mereka
dapat membuat keputusan dan etis dalam praktek konseling tersebut, hal ini
berarti seorang konselor harus sejak awal mengenali
kode etik dalam bertindak sehingga melahirkan perilaku yang etis pula dalam
setiap pengambilan keputusan.
Donald H.
Blocher (1996) menjelaskan bahwa kode etik umumnya mengakui kenyataan bahwa
konselor memiliki sejumlah kewajiban etis. Kewajiban tersebut adalah :
1.
Kewajiban kepada klien
2.
Kewajiban kepada orang tua klien kecil
3.
Kewajiban untuk profesi
4.
Kewajiban kepada institusi mempekerjakan
5.
Kewajiban untuk komunitas atau masyarakat pada umumnya
Asosiasi
Konseling Amerika (ACA) menjabarkan lebih lengkap mengenai kode etik yang harus
dijalani seorang konselor :
Bagian A:
Hubungan dalam Konseling.
Hubungan dalam konseling
merupakan satu kesatuan antara konselor dan konseli yang memiliki tujuan untuk
memecahkan permasalah yang dihadapi. Konselor memiliki peran untuk membantu
konseli, sdangkan konseli memiliki peran sebagai individu yang sedang
memerlukan bantuan. Proses konseling akan menyangkut hubungan dari peran
konselor itu sendiri. Kontek hubungan dalan proses konseling menyangkut hal-hal
sebagai berikut : (a)
kesejahteraan klien, (b) hak-hak klien, (c) klien dilayani oleh orang lain, (d)
kebutuhan pribadi dan nilai-nilai, (e) hubungan ganda, (f) keintiman
seksual dengan klien, (g) banyak
klien, (h) kerja, (i) kelompok, (j) biaya dan
barter, (k) terminasi dan rujukan, (l) dan teknologi komputer.
Bagian B:
Kerahasiahan.
Kerahasiahan merupakan kunci
untuk memberikan
kenyamanan terhadap klien. Konselor dituntut untuk mampu memegang teguh informasi yang
disamapkan oleh klien sehingga klien merasa nyaman dalam melakukan konseling
dengan klien. Jika klien memberikan kepercayaan penuh terhadap konselor, maka
keterbukaan klien akan semakin mudah. Hal inilah yang akan memberikan dampak
yang positif terhadap proses konseling. Kepercayaan
dari konseli terhadap konselor menjadi mutlak untuk dipertimbangkan sehingga
menjadi kode etik yang sangat krusial. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalan menjadi kerahasiahan konseli melipuhi hal-hal sebagai berikut: (a) hak privasi, (b) kerahasiahan kelompok dan keluarga, (c) kecenderungan
kompetansi klien, (d) catatan-catatan konseling, (e) hasil analisa dan
pelatihan, (f) dan hasil konsultasi dengan konselor.
Bagian C: Tanggung Jawab.
Konselor memiliki
tanggung jawab yang penuh terhadap klien, orang tua, organisasi, serta terhadap
diri konselor itu sendiri. Tanggung jawab yang diemban konselor merupakan hal
yang harus mendapatkan perhatian yang serius, sebab tanggung jawab ini akan
berdampak pada kebaerhasilan suatu pola kerja dari konselor. Tanggung jawab
professional menyangkut: (a) standar-standar pengetahuan, (b) kompetensi
profesional, (c) identitasklien, (d)
tanggung jawab publik, dan (e) tanggung jawab profesional lain.
Bagian D: Hubungan dengan
Profesional Lain.
Hubungan
dengan profesi lain, hal ini menunjukan bahwa permasalahan yang harus
diselesaikan oleh konselor mengenai permasalahan klien tentu akan berhubungan
dengan profesi lain. Profesi lain dalan konteks ini adalah lembaga-lembaga atau
profesi yang ada kaitannya dengan perasalahan yang dihadapi oleh klien. Profesi
lian dalam kaitannya dengan siswa bisa saja pihak kesehatan (dokter) atau
psikolog/psikiater. Dalam kontek hubungan dengan teman sejawat konselor disekolah
bukan individu yang berdiri sendiri melainkan merupakan team work diantara
personel sekolah. Dengan demikian hubungan dengan professional lain menjadi
komponen penting dalam mebinba hubungan sosial dalam konteks kerja
profesonal.
Bagian E:
Evaluasi, Penilaian, dan Interpretasi.
Evaluasi
dan interpretasi menyangkut (a) standar penilaian yang berkaitan dengan
klien. Klien adalah individu yang memiliki berbagai karakteristik sehingga akan
memberikan berbagai penapsiran terhadap pemeknaan konselor. Jika penepsiran
keliru, maka proses konseling akan berjalan terganggu sebab konselor mengalami
kesulitan melakukan interpretasi terhadap kondisi klien. (b) keterampilan konselor, konselor merupakan
individu yang berada pada jabatan profesi yang harus menunjukan tingkat
professional yang handal. Berbagai keterampilan merupakan kompetensi yang harus
dimiliki. Konseling bukan merupakan hal yang mudah dilakukan, melainkan melalui
beberapa tahapan. (c) kesesuaian penilaian. Beberapa pertimabangan yang harus
diperhatikan dalam penilaian ini menyangkut: penilaian umum masalah-masalah,
kompetensi menggunakan dan menafsirkan tes, perijinan untuk penilaian,
penggunaan dan distribusi informasi,
diagnosa yang tepat terhadapa gangguan mental, tes seleksi, tes kondisi
administrasi, keragaman dalam pengujian, penilaian dan interpretasi
tes,keamanan tes, serta bagaimana menganalisa keusangan tes, serta melakukan
konstruksi alat tes.
Bagian F: Pengajaran, Pelatihan, dan Pengawasan.
Mencakup
isu yang berkaitan dengan pelatihan konselor dan program pendidikan konselor. Mencakup
kajian tentang: pendidikan dan pelatihan konselor.
Bagian G: Penelitian dan Publikasi.
Bagian
ini memberikan penjelasan terhadap prosedur penelitian yang berkaitan dengan
isu-isu yang terjadi. Dalam melaksanakan penelitian hal yang harus diperhatikan
adalah (a) Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap profesi adalan bagaimana
mengambangkan suatu penelitian yang berkenaan dengan peningkatakan kualitas
layanan, (b) perijinan, perijinan dalam
penelitian menyangkut legalitas dari penelitian yang akan dilakukan baik secara
kelembagaan maupun secara individual kepada subjek penelitian yangtu klien yang
dijadikan kajian permasalahan, (c) pelaporan hasil dan publikasi, pelaporan hasil tentunya akan menyangkut pada
konsep bagaimana penelitian tersebut dirancang, dilaksanakan, dianalisa
hasilnya serta publikasi dari hasil penelitian.
Bagian H : Menyelesaikan
Isu-Isuk Etik.
Mencakup prosedur yang harus diikuti
oleh konselor profesional ketika mereka mencurigai penasihat lain dari perilaku
yang tidak etis. Pada bagian ini merupakan bagian tanggung jawab konselor
terhadap organisasi, jika ada anggota organisasi yang melakukan penyimpangan
etika, maka tanggung jawab komponen semua personel harus bertanggung jawab demi
kredibilitas yang tetap baik. Hal yang harus diperhatikan jika mendapatkan
informasi tentang pelanggaran informasi adalah :
(a) sejauhmana pengetahuan tentang standar kode etik
yang berlaku pada organisasi tersebut, (b) sejauhmana dugaan pelanggaran yang
dilakukan, (c) bagaimana pola kerjasama yang harus dilakukan dengan bagian
komite etika sehingga proses penyelesaian pelanggaran kode etik dapat
diselesaikan dengan baik.
Sementara
Van Hoose dan Kottler dalam Gladding (2012) memaparkan alasan pentingnya kode
etik dalam sebuah profesi :
1.
Kode Etik melidungi
profesi dari pemerintah. Point ini
menjelaskan bahwa sebuah profesi diperbolehkan secara mandiri dalam
independensinya untuk mengelola profesi tersebut agar berfungsi sebagaimana
mestinya.
2.
Kode etik membantu
mengontrol ketidaksepakatan internal dan pertengkaran, sehingga memelihara
kestabilan dalam profesi.
3.
Kode etik
melindungi praktisi dari publik, terutama untuk pengaduan mal-praktik. Jika konselor telah bertindak sesuai
batas-batas kode etik, tingkah lakunya akan dinilai telah mematuhi standar
umum.
Dengan
demikian kode etik akan membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap
integritas sebuah profesi, serta menjamin perlindungan klien dari layanan yang
dapat merugikan klien tersebut.
Sementara itu ACA; Herlihy & Corey dalam Gladding (2012) memberikan
contoh perilaku tidak etis yang paling sering terjadi dalam konseling:
1.
Pelanggaran
kepercayaan
2.
Melamaui tingkat
kompetensi profesional seseorang
3.
Kelainan dalam
praktik
4.
Mengklaim keahlian
yang tidak dimiliki
5.
Memaksakan
nilai-nilai konselor pada klien
6.
Membuat klien
bergantung
7.
Melakukan aktivitas
seksual dengan klien
8.
Konflik
kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur hubungan
pribadi atau hubungan profesional yang menyimpang.
9.
Persetujuan
finansial yang kurang jelas
10. Pengiklanan yang tidak pantas
11. Plagiarisme
Dengan
dipaparkannya perilaku tidak etis di atas diharapkan setidak-tidaknya konselor
menghindari perilaku-perilaku di atas dan lebih selektif dalam menjalankan
profesi konselor. Namun demikian, kode
etik jarang terperinci dalam mengurai kasus yang lebih spesifik karena kode
etik itu sendiri lebih bersifat umum dan idealistik.
Dalam
banyak kasus, konselor diminta untuk
membuat keputusan etis yang kompleks.
Beymer, Corey & Callanan, dan Talbutt dalam Gladding (2012)
menjelaskan ada sejumlah batasan spesifik dalam kode etik:
1.
Beberapa masalah
tidak dapat diputuskan dengan kode etik
2.
Pelaksanaan kode
etik merupakan hal yang sulit
3.
Standar-standar
yang diuraikan dalam kode etik ada kemungkinan saling bertentangan
4.
Beberapa isu legal
dan etis tidak tercakup dalam kode etik
5.
Kode etik adalah
dokumen sejarah, artinya kode etik yang duterapkan dalam kurun waktu tertentu
bisa saja tidal lagi relevan di kemudian hari
6.
Terkadang muncul
konflik antara peraturan etik dan peraturan legal
7.
Kode etik tidak membahas
masalah lintas budaya
8.
Tidak semua
kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik
9.
Seringkali sulit
menampung keinginan semua pihak yang terlibat dalam perbincangan etik secara
sistematis
10. Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu konselor
dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi baru.
Disamping
itu semua, ternyata di dalam tubuh kode etik itu sendiri memunculkan konflik
dilematis yang berbenturan antara nilai-nilai etik itu sendiri, maupun nilai
etik dengan perspektif hukum. Seperti
dipaparkan oleh Donald H. Blocher (1996) yang menjelaskan bahwa kode etik dapat
memberikan pedoman luas untuk keputusan etis, namun jarang cukup rinci
menerapkan secara sempurna untuk situasi etis tertentu. Pengambilan keputusan etik tidak selamanya
mudah, namun inilah yang menjadi tugas seorang konselor (Samuel T. Gladding,
2012). Selanjutnya Welfel dalam Gladding
(2012) menambahkan perlunya karakter integritas, keberanian moral, serta
pengetahuan dalam diri konselor untuk mengatasi hal tersebut.
Kiranya
sangat perlu bagi konselor untuk intensif mengecek kesesuaian kode etik
setiapkali menghadapi suatu kasus, karena faktanya kode etik yang diyakini
sangat berguna dalam menuntun kinerja profesi ternyata tidak selamanya dapat
menjawab semua pertanyaan di lapangan. Sikap hati-hati yang perlu konselor miliki tergambar
melalui konselor yang beroperasi berdasarkan standar etik pribadi tanpa
berpegang pada standar etik yang dirancang asosiasi profesi, biasanya berjalan
dengan lancar di awal, hingga menemukan suatu situasi dilematis yang akhirnya
tidak melahirkan solusi yang jelas dan bukan solusi yang terbaik (Swanson dalam
Gladding, 2012). Sebuah studi di New
York (Hayman & Covert dalam Gladding 2012) menemukan fakta yang mengejutkan
bahwa hanya kurang dari sepertiga responden yang mengatakan bahwa mereka
mengandalkan kode etik profesional yang sudah dipublikasikan dalam
menyelesaikan permasalahan. Mereka
(konselor) lebih cenderung menggunakan strategi “akal sehat” yang terkadang
secara profesionalitas dipandang tidak etis dan kurang bijaksana.
Situasi
ini berpotensi memunculkan perilaku tidak etis dalam diri konselor karena tidak
didasarkan pada kode etik yang ditetapkan, melainkan pada peraturan yang mereka
ambil untuk membenarkan tindakan mereka atas dasar perspektif pribadi
mereka. Hal ini juga berpotensi
mencederai integritas profesi konselor yang memiliki ekspektasi tinggi untuk
dapat diterima dan memperoleh kepercayaan publik yang utuh dalam operasional
kerjanya. Artinya perlu sikap yang arif
dan bijaksana serta mengasah intuisi konselor dalam melangkah, dan tidak lupa
disertai sikap kehati-hatian dalam mengambil setiap keputusan bantuan, sehingga
menciptakan perilaku etis di setiap pengambilan keputusannya.
C. Keputusan Etik
Pengambilan
keputusan yang berlandaskan nilai etik adalah bagian yang terpenting sekaligus
tersulit dalam suatu proses konseling.
Namun suka tidak suka, konselor harus tetap melalui fase ini. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana caranya
agar kode etik yang tidak mudah namun bagian terpenting dalam konseling dapat
diimplementasikan. Remley & Herlihy, 2005;Wilcoxon et al., 2007 dalam
Gladding 2012 mencoba membantu menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan
beberapa prnsip etik yang berhubungan dengan aktivitas dan pilihan etik
konselor;
a.
Beneficence/perbuatan baik
Hal
ini diartikan bahwa konselor senantiasa mendasarkan tujuan dari suatu proses
bantuan dalam sebuah kebaikan, tanpa ada tendensi lain di balik itu semua yang
memiliki fungsi sebagai pencegahan atas situasi yang akan merugikan semua pihak
kelak.
b.
Nonmaleficence
Prinsip
lainnya adalah perbuatan yang tidak mengakibatkan kerugian baik materil maupun
non materil, prinsip ini menekankan pada konselor untuk senantiasa menjaga
atmosfir konseling agar tidak ada yang dirugikan atau tersakiti di dalamnya.
c.
Autonomy/otonomi
Seperti
yang kita pahami bersama mengenai prinsip dasar dalam sebuah konseling bahwa
“konselor hanya membantu konseli dalam menyelesaikan masalahnya, dan bukan
membantu menyelesaikan masalah konseli”.
Maka keberanian dalam memilih serta mengambil keputusan akhir yang harus
diambil oleh konseli adalah sesuatu hal yang menjadi prioritas layanan karena
hal tersebut adalah nyawa dari kesuksesan proses konseling itu sendiri.
d.
Justice/keadilan
Nuansa
yang harus dibangun dalam suatu proses konseling yang berlandas kode etik
adalah prinsip keadilan. Keadilan dalam
konseling mencakup aspek keadilan untuk tidak akan membedakan klien yang
ditangani, serta tidak bertendensi memihak di tengah permasalahan yang
didiskusikan klien.
e. Fidelity/kesetiaan
Prinsip ini menegaskan setiap pelaku konseling untuk
berpegang pada komitmen sebagai seorang konselor. Mengamalkan azas-azas serta prinsip-prinsip
altruistik atau mengutamakan kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri
sendiri.
Swanson
(1983) dalam Gladding (2012) memperkaya wawasan kita tentang pedoman yang dapat
mengukur sejauh mana seorang konselor telah bertindak etis dalam layanannya;
i. Kejujuran
Pribadi dan Profesional
Keterbukaan adalah kunci penting dalam proses konseling. Hal-hal yang disembunyikan seperti agenda,
perasaan, penilaian, atau gagasan yang disembunyikan justru akan menghambat
kelancaran dari proses konseling itu sendiri.
ii. Kepentingan
Terbaik Klien
Seperti yang pernah disinggung sebelumya bahwa profesi konselor adalah
profesi altruistik atau mementingkan kepentingan orang lain (dalam hal ini
konseli yang dilayani) di atas kepentingan pribadi. Namun idealisme ini nampaknya hal yang tidak
mudah diterapkan dalam diri seseorang.
Perlu pembiasaan dengan energi yang cukup ekstra agar naluri altruistik
benar-benar meresap dalam diri konselor.
iii. Konselor
Bertindak Tanpa Tujuan Jelek
Senada dengan teori Remley & Herlihy sebelumnya, bahwa upaya ini
menekankan pada konselor untuk tidak memiliki tujuan terselubung apalagi yang
berkonotasi negatif dalam melakukan proses bantuan terhadap konseli.
iv. Sikap
Scientifik
Upaya ini mengajak setiap konselor untuk senantiasa mengeksplorasi
pemahaman dan keterampilannya dengan cara intens mencari literatur, referensi,
mengikuti workshop, atau hal lain yang mendukung pengembangan diri
konselor. Sehingga konselor mampu secara
tepat mengambil sebuah keputusan karena didasarkan wawasan ilmiah serta
pelatihan yang telah dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Donald H.Blocher. 1966. Developmental
Counseling. New York:John Wiley & Sons.
John NcLeod 2009.
An Introduction to Counseling.
England: Open University Press.
Samuel T.Glading. 2012. Konseling
Profesi yang Menyeluruh. Jakarta:
Permata Puri Media.
0 Response to " Pengertian Etik, Moral dan Hukum Dalam Konseling"
Post a comment