Pengembangan Identitas Konselor: Sebuah Teori Mendasar Tentang Tugas Transformasional Konselor Baru
a.
Implikasi Secara Faktual Dalam Bimbingan Konseling (Penerapan
di Lapangan)
Seperti
yang telah disebutkan di dalam jurnal ini bahwa objek dan setting penelitian yang dilakukan oleh para peneliti adalah
konselor-konselor di Negara Amerika bagian Tenggara yang didasarkan dari
berbagai macam basis pekerjaan yang berbeda-beda, baik itu konselor yang
berbasis di sekolah maupun konselor yang berbasis masyarakat umum. Mengingat
bahwa profesi konseling di Amerika Serikat merupakan sebuah profesi yang sudah
berkembang jauh dalam praktiknya, maka tidak sulit untuk mengumpulkan 26 orang
konselor dari latar belakang basis kerja dan tingkatan pengalaman yang berbeda-beda
untuk bersama-sama mendiskusikan tentang hal-hal yang mempengaruhi pengembangan
profesionalisme mereka. Maka dalam kaitannya dengan implikasi secara faktual,
penelitian ini telah menawarkan beberapa rumusan dalam jurnal mereka.
Pertama,
pendidik konselor memiliki tanggung jawab untuk membina dan mengembangkan
identitas profesional counselor-in-training
(CACREP, 2009). Pendidik konselor dapat menggunakan informasi tentang tugas
transformasional dan bagaimana menyelesaikan tugas-tugas untuk lebih
mempersiapkan kemunculan konselor-konselor baru. Ketika counselor-in-training masuk program, mereka dapat diberikan tugas
seperti wawancara atau bayangan berlatih sebagai konselor untuk mendapatkan
perspektif yang lebih realistis dari angkatan kerja. Juga, pendidik konselor
dapat memberikan perspektif praktis dengan mengundang pembicara tamu yang
berlatih konselor dalam semua kelas. Pendidik konselor yang juga praktisi dapat
menggunakan contoh dalam pengajaran mereka dari praktek mereka saat ini untuk menggambarkan
pandangan yang wajar dari konseling. Selain itu, pendidik konselor dapat
berusaha untuk memastikan bahwa praktikum dan magang menjadi pengalaman yang
realistis dan sebaiknya mempersiapkan konselor-in-training untuk realitas
lingkungan kerja. Oleh karena itu, konselor yang memasuki dunia kerja akan
memiliki harapan yang lebih masuk akal dari profesi konseling. Mereka juga bisa
tahu apa yang diharapkan saat mereka tumbuh dan berkembang dalam profesi.
Harapan yang realistis dapat menyebabkan frustrasi kurang, yang akan membantu
baik konselor dan klien.
Kedua,
penelitian ini memberikan pengetahuan baru bagi konselor dalam proses
pengembangan identitas profesional mereka. Pengakuan terhadap adanya tugas-tugas
transformasional dalam profesi konseling dapat menormalkan pengalaman konselor.
Ada dapat kenyamanan dalam mengetahui bahwa orang lain sedang menghadapi
masalah dan frustrasi yang sama. Pengetahuan yang didapatkan konselor di setiap
tingkatan dalam menghadapi perjuangan yang sama dapat menyebabkan munculnya dukungan
sebaya yang lebih besar. Sebagai konselor merasa keraguan diri, burn-out, atau ketidaksesuaian, mereka sebagai
alat pengkaji ilmu pengetahuan (belajar terus menerus, bekerja dengan klien,
dan panduan berpengalaman) untuk membantu mereka bekerja melalui perjuangan
mereka.
Akhirnya,
hasil penelitian ini memperkuat manfaat dari pengawasan di semua tingkat
konseling. Konselor harus didorong untuk mencari panduan yang berpengalaman
untuk membantu mereka menavigasi pertumbuhan profesional mereka. Juga, pengawas
dapat menggunakan pengetahuan tentang perjuangan pada setiap tahap pengembangan
untuk lebih mendukung konselor supervisi mereka. Supervisor dapat menggunakan
informasi tentang perlunya terus belajar untuk membantu konselor yang mereka supervisi
dengan menyediakan kesempatan belajar tambahan. Supervisor dapat menyesuaikan
pelatihan mereka untuk kebutuhan perkembangan supervisi mereka.
Akan
tetapi mengingat bahwa metode penelitian ini adalah Grounded Theory yang memiliki subjektivitas kuat dalam koding dan
penafsiran datanya, maka muncul sebuah pertanyaan dalam mengkaji jurnal ini;
apakah hasil penelitian ini dapat diimplikasikan pada setting profesi konseling di Indonesia? Kami rasa jawabannya masih
bersifat probabilitas. Sebab di satu sisi, enam teori tugas transformasional
untuk pengembangan profesionalisasi konselor ini merupakan sebuah teori baru
hasil dari pembingkaian teori-teori yang sebelumnya terpisah tentang bagaimana
mengembangkan diri menjadi seorang konselor yang profesional. Di sisi lain,
teori ini tercetus dari kumpulan konselor di Amerika Serikat yang memiliki
perkembangan dalam tatanan profesi yang sudah sangat maju. Salah satunya adalah
keterlibatan konselor yang berbasis kerja dalam melayani masyarakat umum.
Adalah sebuah profesi konselor yang saat ini masih belum berkembang pesat di
Indonesia. Basis kerja konselor di Indonesia hampir seluruhnya masih berada
dalam ranah pendidikan dan sekolah. Sebab saat
ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum bisa berdiri tegak,
dan masih melakukan pencarian bentuk kerja professional. Hal ini dipaparkan
oleh Nurhudaya (2005). Hal ini akan menjadi pertimbangan
tentang penerapan teori tugas transformasional ini di Indonesia.
Mungkin ada
beberapa poin dalam tema tugas transformasional ini yang dapat diterapkan dan
sebagian lagi masih memerlukan proses agar bisa diimplikasikan di Indonesia.
Sebagai contoh, dalam tema Penyesuaian
dengan Harapan, jika diterjemahkan dalam ranah konseling dan pemberian
layanan, maka seorang konselor di bagian bumi manapun memang perlu menguasai
tema ini. Kebanyakan konselor terutama lulusan S1 atau pascasarjana yang baru
menyelesaikan studinya, berharap bahwa dirinya bisa menjadi konselor yang
sempurna dan beranggapan bahwa jika dirinya menunjukkan ketidaktahuan atau
kesalahan, maka orang lain akan menilai bahwa dirinya tidak kompeten (Corey, 2004).
Padahal harapan-harapan seperti itu justru akan membuat seorang konselor
menjadi pribadi yang sulit berkembang karena terus menutupi dan tidak mau
mengakui keterbatasan yang ia miliki dalam mencapai harapan tersebut. Sehingga
ketika suatu ketika ia tidak mampu mencapai harapan tersebut, akan terjadi
kecemasan dan gangguan yang berdampak pada pelayanan yang ia lakukan.
Kemudian
dalam tema tentang Kepercayaan Diri dan
Kebebasan, jika dimaknai dalam kaitannya dengan pengembangan
profesionalisasi, nyatanya di Indonesia
sendiri masih sedikit konselor yang memiliki kepercayaan diri untuk
mengembangkan profesionalismenya hingga pada tahap pelayanan di masyarakat umum
dan tidak terbatas hanya dalam lingkup sekolah. Sehingga secara pemaknaan,
profesi konseling di Indonesia sendiri masih bisa dibilang belum mendapat
‘kebebasan’ dalam bekerja. Terhitung sampai tahun
2003 lalu, baru sekitar 10 persen konselor yang memperoleh
sertifikat resmi dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Artinya, hanya 183 orang itu yang berhak menyelenggarakan bimbingan konseling
dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi (Kartadinata, 2003). Hal ini
membuktikan bahwa tema ini masih belum bisa diwujudkan secara gamblang dalam
profesi konseling di Indonesia. Mungkin seperti yang telah disebutkan dalam
jurnal ini, seiring dengan bertambahnya pengalaman dan wawasan para konselor
maka ke depannya secara perlahan kesadaran dan kepercayaan diri konselor
Indonesia akan semakin meningkat untuk tergerak dalam mengembangkan
profesionalisasi mereka dan berusaha untuk memperoleh sertifikat resmi untuk
pelayanan konseling di masyarakat umum tersebut.
Selanjutnya
untuk tema tentang Pemisahan vs.
Integrasi. Jika di Amerika Serikat pembahasan tentang tema ini merujuk pada
kebingungan konselor dalam keinginan untuk memisahkan peran lain dengan perannya
sebagai konselor atau justru menganggap bahwa perannya sebagai konselor dan
perannya yang lain merupakan satu bagian tak terpisahkan, maka di Indonesia
tema ini tidak hanya membahas tentang hal tersebut. Akan tetapi juga dapat
dimaknai dari kebingungan konselor akan pemisahan atau integrasi tentang tugas
pokok dan fungsi bimbingan dan konseling dalam hubungannya dengan sistem
manajemen sekolah. Selama ini masih banyak fenomena dimana konselor sekolah
belum mengerti akan lahan profesionalnya di sekolah sehingga banyak menimbulkan
kesalahpahaman tentang peran BK dalam manajemen sekolah, seperti munculnya
fenomena guru BK yang menjadi tim ketertiban sekolah, penjaga piket sekolah,
maupun pengganti guru ketika guru mata pelajaran tidak masuk kelas (Sugiyo,
2014). Konselor yang dikatakan professional harus mengerti tentang permasalahan
ini. Ia perlu memahami bahwa tugas pokok konselor pada dasarnya adalah
memberikan bantuan kepada peserta didik agar mampu mencapai dan melalui tugas
perkembangannya secara optimal sehingga ia menjadi pribadi yang mandiri.
Dua tema
berikutnya dirasa cukup berkaitan antara satu sama lain, yaitu Panduan Berpengalaman dan Belajar Terus Menerus. Dalam kaitan
dengan penerapannya di Indonesia tidak ada perbedaan dengan penerapan di
Amerika Serikat. Konselor pada hakikatnya merupakan manusia yang tidak bisa
lepas dari proses belajar secara terus menerus. Karena subjek dan objek dari
konseling itu sendiri adalah manusia yang memiliki sifat dinamis atau
berubah-ubah dari satu dimensi waktu ke dimensi yang lain (Yusuf dan Nurihsan,
2010).. Untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan dinamisnya manusia
tersebut, konselor perlu senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan ikut
berkembang melalui kegiatan belajar yang tidak terbatas waktu. Prinsip ini
berlaku secara universal di setiap belahan bumi bagian manapun. Kemudian jika
dikaitkan dengan dunia profesionalisme, maka dalam prosesnya belajar tersebut,
konselor memerlukan panduan berpengalaman agar ilmu yang ia peroleh tervalidasi
dan diakui oleh orang lain. Panduan ini bisa didapat dari rekan kerja sejawat,
rekan kerja yang lebih berpengalaman dalam bidang konseling maupun melalui
supervisi dari ahli.
Pada tema
terakhir, prinsip Bekerja dengan Klien
ini pun secara umum sudah bisa diterapkan pula di Indonesia hanya saja lebih
luas. Terutama dengan memandang bahwa falsafah dasar bangsa Indonesia
menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Dua poin pertama telah mewakili prinsip dasar dari bekerja dengan
klien. Konselor perlu menumbuhkan sikap bahwa membantu klien, baik itu
dikatakan berhasil atau tidak merupakan sebuah tindakan yang memiliki tanggung
jawab ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan menyadari bahwa prinsip membantu secara
altruistik memberikan nilai-nilai positif pada pemeliharaan terhadap nilai
kepedulian pada sesama manusia dan terlebih lagi adalah perbuatan yang bernilai
pahala di mata Tuhan, maka hal itu akan menenangkan dan memberikan kedamaian
tersendiri pada diri konselor. Seperti yang disebutkan oleh Anwar Sutoyo (2015)
bahwa tidak ada satu kebaikan pun yang sia-sia, maka konselor harus memiliki
keyakinan bahwa kebaikan kecil meskipun hanya dalam bentuk niat untuk menolong,
maka suatu saat pertolongan tersebut akan kembali kepadanya sendiri di saat
yang tidak diduga-duga. Hal-hal semacam ini diharapkan akan menjadi motivasi
bagi konselor untuk dapat mengembangkan pribadi altruistiknya sehingga secara
profesionalpun konselor tidak akan mudah mengalami burn-out dalam pekerjaannya berhadapan dengan klien.
Daftar Pustaka
Awalya. (2012).
Buku Ajar Pengembangan Pribadi Konselor.
Yogyakarta: Deepublish
Creswell. J. W. (2003). Research design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Method Approaches (2nd ed.). Thousand Oaks. CA: Sage.
Fuad, Muskinul.
(2009). Kualitas Pribadi Konselor:
Urgensi dan Pengembangannya. Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. 3 (2),
247-254.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. (2002).
Peran
Bimbingan Konseling
Dalam Rangka Mewujudkan
Pendidikan
Kecakapan Hidup di Sekolah. Jawa Tengah : Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Jawa Tengah
Moss, J.M, et.al. (2014). Professional Identity Development: a Grounded
Theory of Transformational Tasks of Counselors. Journal of Counseling &
Development. 92, 3-12.
Nelson. K. W.. & Jackson. S. A.
(2003). Professional counselor identity
develop- ment: A qualitative study of Hispanic student interns. Counselor
Education and Supervision. 43, 2-14.
Nurhudaya.
2005. Pelayanan Konseling di Era Global (dalam : Pendidikan dan
Konseling di Era Global dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad
Dahlan). Bandung : Rzki Press
Kartadinata,
Sunaryo. 2005. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional;
HIstorik-Futuristik. (dalam : Pendidikan dan Konseling di Era Global
dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad
Dahlan). Bandung : Rzki Press
Sugiyo. 2011. Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang. Widya Karya.
Yusuf, Syamsu & Juntika Nurihsan. 2011. Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Rosdakarya.
Sutoyo, Anwar. 2015. Menjadi Penolong. Semarang: Prodi
Bimbingan dan Konseling Program Pascassarjana UNNES.
0 Response to "Pengembangan Identitas Konselor: Sebuah Teori Mendasar Tentang Tugas Transformasional Konselor Baru"
Post a comment