Paradigma Pendidikan
Paradigma
Pendidikan
Kata Paradigma dalam bahasa Inggris
adalah "paradigm" yang berarti “model”. Sedangkan Barker menyatakan bahwa kata
"paradigma" berasal dari bahasa Yunani yaitu "Paradeigma",
yang juga berarti model, pola, dan contoh. Menurut istilah, Adam Smith
mendefinisikan paradigma sebagai cara kita memahami kehidupan, seperti air bagi
ikan.
William Harmon menulis bahwa
paradigma adalah cara yang mendasar dalam memahami, berfikir, menilai, dan cara
mengerjakan sesuatu yang digabungkan dengan visi tentang kehidupan tertentu.
Sedangkan Barker sendiri
mendifinisikan paradigma sebagai seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis
maupun tidak) yang melakukan dua hal:
1.
Menciptakan atau menentukan
batas-batas
2.
Menjelaskan kepada anda cara untuk
berperilaku di dalam batas-batas tersebut agar menjadi orang yang berhasil.
Sehingga
paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan dari sudut
pandang ini kita mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang
dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut.
1.
Paradigma
Behavioristik Dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan selama ini dikenal paradigma
klasik yang disebut paradigma behavioristik. Paradigma ini muncul
terutama pada tahun 1930-an. Paradigma ini dipelopori oleh Pavlov (1849-1936),
Watson (1878-1958), Skinner dan Thorndike (1874-1949).
Paradigma ini cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan
sampai pada tahun 1960-1970-an di barat dan bahkan sampai 1990-an di Indonesia.
Paradigma behavioristik atau perilaku sosial ini dapat dilihat dalam berbagai
bentuk pengembangan menejemen pendidikan yang mendasarkan pada pemikiran
positivisme, empirisme, teknokrasi dan manajerialisme. Ia merupakan reaksi
terhadap model pmbelajaran sebelumnya yang menganut perspektif gestalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran
kognitif.
Perspektif yang dikembangkam oleh Piaget dan Vygotsky
ini dianggap oleh penganut paradigma behavioristik memiliki kelemahan karena
tidak memfokuskan langsung kepada
gerakan-gerakan tubuh dan gejala internal tubuh yang bisa diamati. Pavlov menunjukan hubungan yang simple antara stimulus
dan respon dalam pengajaran untuk membentuk perilaku organisme.
Sementara itu Watson (1878-1958) yang memperkenalkan
istilah behaviorisme mengembangkan gagasannya berdasarkan apa yang di rintis
Pavlov. Ia mengembangkan pemikiran bahwa bentuk substitusi satu stimulus
terhadap yang lain. Hal ini di lakukan dengan asumsi bahwa cara berfikir
manusia mekanistik, dan bukan merupakan proses kerja mental.
Thorndike (1913-1931) banyak memberi sumbangan pengembangan paradigma
behavioris dengan mengeksplorasi dampak perilaku tertentu terhadap perilaku
tetentu lainnya. Temuannya menghasilkan rumus yang berlaku secara umum yang
disebut dengan hukum pengarih (law of effect). Dalam hukum pengaruh ini
dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan apabila situasi dibuat menyenangkan
tetapi respon lemah jika situasi tidak menyenangkan.
Implikasinya tindakan yang menghasilkan hal yang menyenangkan akan cenderung
diulang dengan menggunakan lingkungan dan cara yang sama. Hukum pengaruh inilah
yang dijadikan sebagai batu pijakan dalam tindakan.
Menurut teori ini lingkungan pembelajaran merupakan
faktor yang amat menentukan. Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan respon
berdasarkan stimulus dari luar. Hadiah dan sangsi merupakan cara-cara
yang diaggap sangat efektif untuk membentuk dan mengembangkan bakat.
Paradigma ini tidak menempatkan segala sesuatu
pikiran, intelegensia, ego dan berbagai bentuk rasa perorangan yang tak dapat
dijelaskan sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Mereka berpandangan ‘tidak ada
hantu dalam sebuah mesin.’ Meskipun mereka mengakui adanya kesadaran dan
pemikiran manusia. Namun hal itu bukan merupakan faktor yang harus
diperhitungkan dalam menyusun strategi pembelajaran. Dalam hal menyusun
pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala sesuatu yang dapat diamati
(observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi pembelajaran sering diartikan
sebagai akumulasi dari berbagai skill, pembuatan memori terhadap berbagai fakta
dalam wilayah dan kerangka pengetahuan tertentu. Kesemua itu kemudian membentuk
kebiasaan yang memungkinkan dapat menampilkan hasil dengan cepat.
Pemikiran seperti tergambar diatas, lalu menimbulkan
implikasi terhadap berbagai faktor pemblajaran. Implikasi terhadap peran guru
dalam pembelajaran, misalnya, guru harus bisa melatih skill siswa dengan
tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Implikasinya terhadap pengembangan
kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai dari skill dasar terlebih dahulu,
baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan kompleks.
Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit, melainkan dari yang sederhana.
Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus dan respon. Pembetulan sebuah
kesalahan dilakukan dengan membangun hubungan antara stimulus dan respon.
Implikasinya terhadap peran siswa antara lain dalam
pengorganisasian pembelajaran. Guna mencapai hasil yang optimal, siswa
harus diorganisasikan dalam kelompok yang homogen dilihat dari latar belakang
kemampuan dan tingkat skill yang dimiliki. Disamping pemberian instruksi
dan program pembelajaran diatur secara hirarkis dengan memperhatikan
tingkat kemajuan pemilihan, kemampuan dan skill siswa.
Implikasi terhadap cara penilain, disini paradigma
behavioristiik mengajarkan agar kemajuan pembelajaran diukur ,melalui test
dengan berbagai item yang ditentukan berdasarkan level atau tingkat hirarki
skill siswa. Hasil belajar biasany dilihat dari sudut benar atau tidak benar,
dan bagi mereka yang hasilnya kurang diberi kesempatan untuk mengulang lebih
intensif lagi pada bagian yang di anggap kurang tersebut. Kalau tidak
melakukan latihan ulang secara lebih intensif, bisa juga dilakukan dengan cara
mulai kembali belajar dari skill dasar.
Guna menerapkan paradigma behaviouristic yang juga
sering disebut sebagai perspektif Skinnerian ini guru harus merumuskan tujuan
pembelajaran tertentu dalam karangan pembelajaran behaviouristic. Selanjutnya
guna menyusun tahapan-tahapan pembelajaran tersebut secara hirarkis sehingga
pada akhirnya sampai pada tujuan tersebut. Sementara itu siswa ditempatkan pada
situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu.
Lingkungan, situasi atau operant merupakan alat
melakukan reinforcement. Alat itu bisa berupa materi, mainan, perlombaan,
kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang bersifat eksternal lainnya. Oleh
karena itu guru harus pandai memilih alat yang tepat sebagi operant atau
pendorong. Hal itu harus dilakukan karena menurut Skinner pendorong yang baik
(positif reinforcement) akan menghasilkan respon yang baik atau efektif.
Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement) akan menghasilkan respon
yang jelek oleh karena itu tidak efektif.
Untuk menjalankan paradigma Skinnerian ini, guru
memerlukan sejumlah kompetensi yang harus dikuasai. Kompetensi itu meliputi :
a.
Mengetahui perilaku siswa secara
tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
b.
Menggunakan pendekatan yang dapat
memecahkan perilku yang tidak diinginkan.
c.
Menggunakan berbagai bentuk strategi
mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi, penggunaan sanksi yang efektif.
Mengembangkan keiatan rutin yang jelas dalam mengelola perilaku siswa konsisten
dengan peraturan sekolah. Melakukan tindakan yang tepat, tegas, adil dan
konsisten.
Guru juga harus memiliki kemampuan membuat perencanaan
untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, melalui progam, sasaran tahapan
aktifitas, menyediakan contoh, mengkoreksi praktik agar sesuai dengan rencana,
dan tidak melepas siswa belajar sendiri. Untuk itu guru harus melakukan upaya
antara lain :
a.
Menghubungkan progam pembelajaran
dengan tujuan dan sasaran pendidikan.
b.
Menyusun tujuan yang jelas dalam progam
pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagai mana telah
yang di sepakati sebelumnya.
c.
Pilih dan buat tahapan aktifitas
belajar untuk mencapai tujuan yang telah di rencanakan.
d.
Perhatikan tujuan siswa dan segala
capaian yang telah di raih oleh siswa sebelumnya.
e.
Susunan strategi pembelajaran
behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap,
serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada
praktek yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendri secara
langsung, melainkan bimbing dan kalau hendak melepaskan lakukan sevara
bertahap.
f.
Hubungan proses penilaian atau
evaluasi dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.
2.
Paradigma
Kontruktivistik Dalam Pendidikan
Paradigma
konstruktutivistik beakar pada filsafat homanisme dan fenomenologi. Namun dalam
perkembangnanya, paradigma ini juga mengambil sejumlah gagasan yang di
kembangkan oleh filsafat rasionalisme dan bahkan juga positivisme, meskipun
tidak sedominan seperti dalam paradigma behavioristik. Paradigma
konstruktivistik ini di kembangkan oleh Chomsky dalam Linguistik, Sinom dalam computer
scientists, dan Bruner dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke
pendekatan sosial budaya. Dalam pendidikan dikaitkan dengan nama-nama seperti
Piaget dan Vygotsky. Ahli psikoanalisis juga bergabung denga pradigma ini dan
menambah perspektif ini menjadi lebih kaya, sehingga kemudian popularitas
paradigma ini menggeser popularitas paradigma behaviolistik pada tahun 1960-an.
Paradigma
konstruktivisme merupakan suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan
besar dalam mamaknai proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigma
pembelajran yang sebelumnya lebih menitikberatkan pada peran guru, fasilitator,
instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada
pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi
di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme
tidak terlepas dari perubahan pandangan yang cukup lama yang menempatkan
pengetahuan sebagai representasi ( gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang
terlepas dari pengamatan (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa
pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini berkembang pesat
pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan tidak
terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.
Konstruktivisme
dalam hal ini mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ‘pemahaman
siswa’ . Kalau ingin memahami apa yang telah di ketahui siswa dan dapat
memonitor perkembangan prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa maka faktor
pemahaman siswa harus menjadi faktor perhatian guru.
Tugas guru
dengan demikian adalah memahami fakto-faktor instrinik yang ada dalam diri
siswa. Dengan demikian, menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan
kondusif, bukan semata tugas guru. Pada paradima behavioristik, tugas
meciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif adalah tugas guru. Guru harus
bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus. Sebaliknya, dalam paradigma
konstruktifistik, siswa juga memiliki potensi intrinsik dalam menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran di pandang sebagai proses yang
dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki oleh siswa yang dilakukan di tempat dimana siswa sebagai partisipan.
Perspektif ini menekankan pada proses pembelajaran kolaburatif, sehingga proses
pembelajarannya dilakukan bersama, siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi
dengan lingkungannya disertai dengan proses refleksi diri. Dengan pendekatan
seperti ini pendidikan konstruktifisik menegaskan bahwa sumber balajar bukan
hanya ber sumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan dan
orang-orang di sekitarnya.
Paradigma
konstruktivisme mengembagkan inisiatif yang kreatifitasnya individu dan
kreatifitas pemikiran individu dalam pembelajaran. Sementara dalam paradigma
behavioristik, memberi kesempatan sedikit saja bagi individu dan muncuknya
kreatifitas siswa secara perorangan.
Paradigma
kontruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta memecahkan persoalan dalam
konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa. Proses strategis yang dilakukan
mulai cara pemikiran yang deduktif dan digabung dengan pemikiran induktif. Ada
dua jenis pendidikan kontruktivisme yaitu :
a.
Kontruktivisme Psikologi
Dalam hal ini pendidikan difokuskan
kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkonstruk pengetahuan,
keyakinan dan identitasnya sendiri selama proses pembelajaran.
b.
Kontruktivisme Sosial
Dalam hal ini pendidikan difokuskan
kepada peran faktor sosial dan budaya dalam mengembangkan pembelajaran. Interaksi
sosial ini yang dapat membentuk perkembangan kognisi. Interaksi sosial dengan
demikian merupakan kunci dalam proses pembelajaran.
3.
Paradigma
Sosial Kognitif Dalam Pendidikan
Bredo (1997) mengembangkan paradigma ini dengan memanfaat kan psikologi fungsional dan filsafat pragmatisme dari
karya James, Deway dan Mead. Ia juga
mengaitka dengan nilai-nilai
demokratik serta pemikiran behavioristik. Asumsi dasarnya dibangun berdasarkan
prinsip bahwa individu selalu berdialog dengan lingkungannya.
Dalam paradigma
social kognitif, pembelajaran disetting sedemian rupa sehingga siswa bisa
menggunakan sistem pengetahuan yang dimlikinya dan digunakan untuk berdialog
dengan lingkungan. Pembelajaran atau pemikiran dilakukan melalui tindakan yang
bisa mengubah situasi. Situasi yang berubah mengubah cara pembelajaran yang
dilakukan siswa. Gagasan yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa
pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya terdapat bentuk
– bentuk ragam budaya yang ada menjadi faktor penting.
Dengan
demikian pembelajaran dalam perspektif ini dapat diartikan sebagai aktifitas
sosial dan kolaborasi. Didalamnya siswa mengembangkan pemikirannya bersama –
sama. Kelompok kerja bukan soal pilihan tambahan. Pembelajaran dilakukan secara
parsipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki individu namun
sesuatu yang bisa dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma
ini disebut dengan ‘distributed cognition’ pemikiran yang terbagikan.
Selebihnya,
paradigma sosial kognitif dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney
sebagai berikut :
a.
Alat penyampaian materi
1)
Melakukan display model
2)
Berfokus pada siswa
b.
Aktivitas/metodologi
1)
Metode rinci, tahap demi tahap
mengikuti model
2)
Penjelasan dan pemberian informasi verbal
3)
Bahan instruksional disusun secara
teratur dan menarik
4)
Memberikan kesempatan siswa untuk
memahami dan menyajikan kembali materi pembelajaran
c.
Motivasi dan tujuan
1)
Membuat instrumen reinforcement
2)
Menekan dorongan instrinsik maupun reinforcement
3)
Menguasai perilaku yang ditentukan
dan mentransformasikannya dalam situasi baru
d.
Evaluasi
1)
Melakukan evaluasi formative
secara terus menerus dan memberi respon terhadap umpan balik secara langsung
2)
Mereproduksi pendorong kepuasan yang
diperlukan untuk membentuk perilaku
3)
Menggunakan skill yang diperlukan
dalam situasi yang sama maupun yang baru melalui transformasi
0 Response to "Paradigma Pendidikan"
Post a comment