Mendidik Konselor dalam Pengambilan Keputusan Etik Dalam Konseling
A.
Mendidik
Konselor dalam Pengambilan Keputusan Etik
Nampaknya prinsip - prinsip etik yang hampir wajib
diterapkan dalam suatu porses bantuan ini bukan perkara yang mudah untuk
diaplikasikan oleh setiap konselor.
Sebagai seorang penolong, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah
menolong dirinya terlebih dahulu. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya, diantaranya menyelami pemahaman
yang bersifat akademik maupun praktik.
Hal ini dirasa perlu mengingat nilai-nilai eti sangat dipengaruhi oleh
perubahan – perubahan yang ada, baik sikap, tingkah laku, maupun pola pikir,
sehingga melahirkan interpretasi manusia yang baru untuk menyikapi perubahan
itu.
Van Hoose dan Paradise (1979) dalam Gladding 2012
mengkonsep tingah laku etik dalam lima tingkatan perkembangan pertimbangan yang
berkesinambungan:
a.
Orientasi Hukuman
Pada tahapan ini, konselor menanamkan kesadaran bahwa dalam
menilai tingkah laku perlu didasarkan pada standar sosial eksternal, sehingga
saat konselor atau konseli melanggarnya maka perlu ada komitmen dalam menerima
konsekuensi atas pelanggaran tersebut.
b.
Orientasi
Institusional
Konselor pada tingkatan ini tanpa ragu mengedepankan aturan
serta hukum atau norma yang menjadi sebuah kebijakan institusi, lembaga, atau
organisasi tempat mereka bekerja.
c.
Orientasi Sosial
Pada tingkat ini, konselor akan senantiasa memprioritaskan
kepentingan publik daripada kepentingan personal.
d.
Orientasi Individu
Kebalikan dari tingkatan sebelumnya, pada tingkat ini konselor
justru memprioritaskan kepentingan individu meskipun pertimbangan hukuman dan
sosial tetap dihadirkan di tengahnya.
e.
Orientasi Prinsip
(Hati Nurani)
Standar etika yang diambil pada tingkat ini berasal dari dalam
diri internal konselor, dan bukan dari faktor eksternalnya.
B.
Etik
dalam Situasi Khusus Konseling
Nampaknya prinsip - prinsip etik yang hampir wajib
diterapkan dalam suatu porses bantuan ini bukan perkara yang mudah untuk
diaplikasikan oleh setiap konselor.
Sebagai seorang penolong, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah
menolong dirinya terlebih dahulu. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya, diantaranya menyelami pemahaman
yang bersifat akademik maupun praktik.
Hal ini dirasa perlu mengingat nilai-nilai eti sangat dipengaruhi oleh
perubahan – perubahan yang ada, baik sikap, tingkah laku, maupun pola pikir,
sehingga melahirkan interpretasi manusia yang baru untuk menyikapi perubahan
itu.
Van
Hoose dan Paradise (1979) dalam Gladding 2012 mengkonsep tingah laku etik dalam
lima tingkatan perkembangan pertimbangan yang berkesinambungan:
a.
Orientasi Hukuman
Pada tahapan ini, konselor menanamkan kesadaran bahwa
dalam menilai tingkah laku perlu didasarkan pada standar sosial eksternal,
sehingga saat konselor atau konseli melanggarnya maka perlu ada komitmen dalam
menerima konsekuensi atas pelanggaran tersebut.
b.
Orientasi
Institusional
Konselor pada tingkatan ini tanpa ragu mengedepankan
aturan serta hukum atau norma yang menjadi sebuah kebijakan institusi, lembaga,
atau organisasi tempat mereka bekerja.
c.
Orientasi Sosial
Pada tingkat ini, konselor akan senantiasa memprioritaskan
kepentingan publik daripada kepentingan personal.
d.
Orientasi Individu
Kebalikan dari tingkatan sebelumnya, pada tingkat ini
konselor justru memprioritaskan kepentingan individu meskipun pertimbangan
hukuman dan sosial tetap dihadirkan di tengahnya.
e.
Orientasi Prinsip
(Hati Nurani)
Standar etika yang diambil pada tingkat ini berasal dari
dalam diri internal konselor, dan bukan dari faktor eksternalnya.
C.
Hukum
dan Konseling
Definisi hukum secara luas dapat diintegralkan ke dalam
berbagai aspek. Saat mengkaji aturan
dari sudut pandang agama, kita akan menemukan redaksional “hukum” dalam
perspektif religius di dalamnya. Saat
kita menelaah norma yang terbentuk dari suatu budaya di masyarakat, kita juga
akan menjumpai “hukum adat” sebagai komitmen dan kesepahaman bersama atas
pelestarian budaya di masyarakat itu sendiri.
Bahkan untuk lingkup yang jauh lebih mikro saja, sistem pengorganisasian
kelas di sebuah sekolah saja misalnya, kita juga akan menemukan aturan yang
dibangun di dalamnya dengan disertai metoda “sanksi atau hukuman” atas
pelanggaran anggotanya. Namun kesemua
konteks “hukum” di atas tidak bersifat universal, melainkan hanya aturan lokal
yang dibangun, dan pemberian sanksinya juga lahir atas dasar kesepakatan
komunitasnya. Hukum yang akan dikaji
dalam pembahasan kali ini merupakan hukum dari telaah yuridis formal yang lebih
bersifat universal, karena hukum ini sendiri dirancang oleh para pengambil
kebijakan dalam suatu ketatanegaraan.
Profesi konseling juga diatur dalam standar legal. Legal berarti keadaan yang sesuai dengan
hukum, dan hukum itu sendiri didefinisikan sebagai bentuk aturan yang diakui
oleh negara atau komunitas yang mengikat anggota-anggotanya (Shertzer &
Stone dalam Gladding, 2012). Dalam banyak kasus, hukum biasanya membantu atau netral terhadap kode etik
profesional dan konseling secara umum (Studey & McKelvey dalam Gladding,
2012). Hal tersebut menegaskan bahwa
profesi konselor dijamin oleh suatu kekuatan hukum. Jaminan perlindungan ini dapat bersifat ke
dalam maupun keluar dari tubuh profesi itu sendiri. Kontribusi hukum yang mengarah ke dalam tubuh
profesi berarti hukum yang menaungi profesi tersebut dapat memberikan fungsi
proteksi atas kekhasan profesi itu dengan profesi yang lain, memberikan
legalitas dalam pelaksanaan operasional profesi, serta memberikan pengawasan
mutu para pelaku profesi itu sendiri.
Sedangkan fungsi hukum yang memberikan kontribusi keluar dari sistem
profesi contohnya adalah jaminan perlindungan dan keselamatan bagi konseli yang
memperoleh layanan dari profesi Bimbingan dan Konseling itu sendiri.
Meskipun demikian, bukan berarti hukum memegang kendali
penuh atas proses profesi Bimbingan dan Konseling yang ada. Studey & McKelvey dalam Gladding (2012)
memaparkan bahwa hukum juga bersifat netral, artinya memberikan keleluasaan
pada profesi untuk mengawasi sendiri dan mengatur hubungan konselor dengan
klien, maupun hubungan antar sesama konselor.
Dan hal yang menjadikan hukum menjadi lebih penting dari kode etik
profesional adalah ketika hukum diperlakukan untuk melindungi kesehatan,
keamanan, dan kesejahteraan publik. Lebih lanjut Studey & McKelvey dalam
Gladding (2012) menjelaskan bahwa hukum di Amerika sendiri mendukung lisesnsi
atau sertifikasi untk konselor sebagai piranti yang menjamin bahwa orang yang
memasuki profesi tersebut sudah mencapai sekurang-kurangnya standar
minimal. Dengan demikian independensi
profesi dalam mengatur pengorganisasian profesi di bawah pengawasan hukum tentu
saja akan mencetak konselor profesional yang dapat dipertanggungjawabkan
kinerjanya.
Kajian literatur asing akan lebih dominan memaparkan
pemahaman atas kondisi hukum dan etik sesuai dengan budaya negara asalnya. Hal tersebut bisa kita jadikan bahan kajian
yang turut memperkaya khasanah ilmu dengan proses perbandingan maupun
pengadopsian. Namun tidak sedikit pula
ditemukan ketidak-relevansian pemaparan yang dideskripsikan dengan realita yang
ada di negeri ini. Contohnya saja,
literatur asing akan lebih memaparkan penitik beratan permasalahan dunia Konselor
di negaranya pada suatu gambaran persengketaan konteks tugas konselor dengan
psikologi yang notabene memiliki setting layanan yang hampir sama, namun kedua
profesi ini memiliki visi-misi kode etik yang berlainan. Sedangkan di Indonesia sendiri, permasalahan
yang lebih urgent untuk dikaji adalah
konteks tugas serta setting layanan konselor dalam setting pendidikan yang
seringkali berbenturan dengan konteks tugas guru. Telaah yuridis mengenai posisi Bimbingan dan
Konseling di Indonesia-pun sesungguhnya belum mencapai tataran yang sempurna
yang mampu menguatkan konteks tugas serta ekspektasi kinerja konselor secara
lebih terperinci. Berikut ini sekilas
gambaran telaah yuridis yang dipetakan dalam serangkaian proses kajian
perundang-undangan yang turut memperkuat keberadaan Bimbingan Konseling di
negeri ini.
1.
Mengacu pada pasal
1 (6) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ditemukan redaksional
keberadaan “konselor” dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah
satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, dan
tutor. Namun konteks ini dirasa belum
merumuskan spesifikasi konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang lebih
cermat. Hal yang sama juga dirasakan
dari UU nomor 14/2005 tentang guru dan dosen yang belum memaparkan keberadaan
konselor.
2.
Keberadaan konselor
kembali disebut dalam pasal 28 PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Namun sama halnya dengan
undang-undang yang dirumuskan sebelumnya bahwa pengaturan standar kompetensi
konselor belum dirumuskan secara khas.
3.
Selanjutnya
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22/2006 tentang Standar Isi
ditemukan uraian kalimat “Pengembangan Diri” yang dinyatakan berada di luar
kelompok mata pelajaran dan dikaitkan dengan konseling. Lagi-lagi rumusan Permendiknas ini kurang
bersambut baik di kalanagan profesi Bimbingan Konseling. Karena Permendiknas ini diterjemahkan pada
sebuah pemahaman bahwa belum adanya konten yang membedakan materi pembelajaran
sebagai perangkat yang digunakan oleh guru dengan perangkat layanan yang
diberikan oleh konselor.
Namun
pada akhirnya, Asosiasi memutuskan untuk mengkaji lebih cermat struktur
kurikulum yang diatur PerMendiknas No. 22/2006 tentang standar isi dan
PerMendiknas No. 23/2006 tentang standar kelulusan, dalam rangka meluruskan
berbagai kerancuan yang ada dalam telaah yuridis serta memantapkan pemahaman
konseptual mengenai profesi Konselor.
Kemudian berdasarkan telaah tersebut, diangkat beberapa pengamatan
kritis sebagai berikut :
1.
Kajian yuridis
terhadap berbagai peraturan yang ada selama ini menyimpulkan bahwa terdapat
kevakuman legal dari segi pengaturan Standar Kompetensi Profesional Konselor di
tanah air.
2.
Pengaturan yang
terkait jabatan fungsional guru dan angka kreditnya memang memuat beberapa
ketentuan tentang layanan Bimbingan dan Konseling, akan tetapi tidak dinyatakan
dalam konteks nomenklatur konselor. Hal ini sebagai akibat belum
dispesifikasikannya konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor dalam
ketentuan perundang-undangan.
3.
Oleh karena itu
langkah awal yang diperlukan adalah penetapan standar kompetensi profesional
konselor yang dinilai menjanjikan kinerja maksimal dalam wilayah layanan
bimbingan dan konseling dalam setting pendidikan formal. Sehingga bimbingan konseling dapat lebih
diterima sebagai bagian yang terpadu dalam Sistem Pendidikan Nasional
4.
Langkah selanjutnya
adalah disusunnya sebuah Naskah Akademik yang berjudul “Penataan Pendidikan
Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan
Formal”, sebagai upaya atau strategi yang sinergistik dalam rangka pembenahan
dan peningkatan mutu layanan Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan
(Depdiknas, 2007).
Naskah Akademik yang berjudul
“Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling
Dalam Jalur Pendidikan Formal” tersebut berisi tentang : (1) sosok utuh
kompetensi konselor dan pendidik konselor, (2) rambu-rambu penyelenggaraan
pendidikan profesional pra-jabatan, (3) rambu-rambu penyelenggaraan layanan bimbingan dan
konseling yang memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal, (4)
rambu-rambu penyelenggaraan sertifikasi konselor dalam jabatan, (5) rambu-rambu
penyelenggaraan pendidikan profesional pendidik konselor, (6) rambu-rambu
penyelenggaraan program penyetalaan kemampuan pendidik konselor dlam jabatan,
(7) pedoman penerbitan izin praktik bagi konselor (Depdiknas, 2007). Dengan naskah akademik ini sebagai amanat
Rakernas ABKIN tanggal 4 - 7 Januari 2007 di Wisma UNJ, para pelaku profesi Bimbingan Konseling telah
memiliki panduan etik yang keberadaannya syah di mata hukum untuk menjadi
profesional yang senantiasa mewujudkan konteks tugas serta ekspektasi kinerja
konselor yang baik.
D.
Aspek
Legal Hubungan Konseling
Secara eksplisit maupun implisit dikemukakan bahwasannya
seorang konselor harus senantiasa berpedoman pada aspek-aspek etis dalam
bertindak. Menjadi hal yang sangat urgent, seorang konselor perlu dibekali
pemahaman mengenai legalitas posisi atau segala bentuk tindakan di bawah
naungan profesi, karena tidak menutup kemungkinan dalam perjalanannya konselor
akan situasi yang tidak hanya bersinggungan antara hubungan konseli dan
konselor, namun juga hal-hal yang bersinggungan dengan dunia hukum.
Aspek etik yang perlu ditempuh konselor saat menghadapi
situasi ini diantaranya komunikasi kerahasiaan (konfidensial), privasi, dan hak
istimewa (Gladding, 2012). Kerahasiaan
diartikan sebagai jaminan konselor terhadap konseli bahwa segala macam
informasi yang terkait konseli dan telah dikantongi konselor sebagai data,
tidak akan dipubilkasikan atau dibagikan secara tidak sah dan tanpa ijin. Privasi merupakan sebuah konsep legal yang
mengakui hak-hak individu untuk memilih waktu, keadaan, dan banyaknya informasi
pribadi yang ingin atau tidak ingin mereka bagikan (Herlihy & Sheeley, 1987
dalam Gladding, 2012). Sedangkan
komunikasi atau hak istimewa adalah hak legal klien yang dijamin oleh
undang-undang untuk tidak mengungkapkan komunikasi rahasia di pengadilan tanpa
seijin konseli (Gladding, 2012).
Namun dalam situasi tertentu hakkerahasiaan, privasi ,
serta komunikasi istimewa klien menjadi sebuah pengecualian, yaitu ketika :
a)
Dalam kasus
pertentangan antara konselor dan klien
b)
Ketika klien
memunculkan masalah menenai kondisi mental dalam tuntutan legal
c)
Ketika kondisi
klien menghadirkan bahaya untuk dirinya sendiri atau orang lain
d)
Dalam kasus
pelecehan anak
e)
Ketika konselor
memperoleh informasi bahwa klien akan melakukan tindakan kejahatan
f)
Selama pengadilan
meminta evaluasi psikologis
g)
Untuk tujuan
pertolongan spontan
h)
Ketika konselor
memiliki informasi bahwa klien telah menjadi korban kejahatan
i)
Dalam kasus
kekerasan pada orang yang rentan
Sebuah
makalah mengenai Pengantar Konsep Etika dan Praktik dalam Konseling (Candra
Aditya, 2011), menguraikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka
mengimplementasikan kode etik konseling dalam praktiknya di lapangan :
1.
Kerahasiaan dan
Privasi
2.
Hak Istimewa
Komunikasi
3.
Hubungan Ganda
4.
Informasi
Persetujuan
5.
Tanggung Jawab
Profesional
DAFTAR
PUSTAKA
Donald H.Blocher. 1966. Developmental
Counseling. New York:John Wiley & Sons.
John NcLeod 2009.
An Introduction to Counseling.
England: Open University Press.
Samuel T.Glading. 2012. Konseling
Profesi yang Menyeluruh. Jakarta:
Permata Puri Media.
0 Response to "Mendidik Konselor dalam Pengambilan Keputusan Etik Dalam Konseling"
Post a comment