Konsep dan Isu Desentralisasi Pendidikan
A.
Pengertian Desentralisasi
Menurut Salim
(2007: 258), desentralisasi dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk yaitu dekonsentrasi,delegasi dan devolusi.Dekonsentrasi
merupakan penyerahan tugas dan pekerjaan,tetapi bukan kewenangan kepada unit
organisasi.Delegasi merupakan penyerahan kewenangan dalam penentuan keputusan
dari unit organisai yang lebih tinggi kepada hirarki organisasi yang lebih
rendah,kendatipun wewenang itu dapat di tarik lagi oleh si pemberi delegasi.Devolusi menyerahkan
kewenangan kepada unit organisasi yang dapat melaksanakan secara mandiri, atau
unit organisasi yang dapat melaksanakan tanpa harus meminta petunjuk terlebih
dahulu.Devolusi memberi hak penuh kepada daerah untuk memilih dan mengangkat
walikota bupati, menyusun anggaran, dan membuat keputusan sendiri. Dari ke tiga
bentuk desentralisasi, devolusi merupakan bentuk nyata dari desentralisasi.
Kewenangan di
bidang pendidikan bisa di rinci mulai kewenangan merumuskanatau membuat
kebijaksanaan nasional di bidang pendidikan,melaksanakan kebijakan nasional,
dan mengevaluasi atau memonitor kebijakan nasional tersebut.Seluruh kewenangan tersebut
dapat tidak didesentralisasikan.Kewenangan perumusan atau pembuatan
kebijaksanaan nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum,persyaratan
pokok tentang jenjang pendidikan, persyaratan pembukaan program baru,
persyaratan tentang guru pendidik di
setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan strategis lainya yang di pandang lebih efektif,efisien, dan
tepat jika tidak didesentralisasikan barangkali masih dilakukan
sentralisasi.Sedangkan pelaksanaan implementasi di laksanakan oleh pemerintah
daerah.Kewenangan pembuatan kebijakan yang berdimensi daerah atau lokal serta
pelaksanaan evaluasinya tidak perlu diintervensi lagi oleh pemerintah pusat
melainkan didesentralisasikan.Kebijakan yang berdemensi lokal adalah semua hal
yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah,biarlah rakyat
daerah yang memutuskannya baik melalui DPRD maupun kelompok-kelompok
lainnya.Memilih lokasi tempat berdirinya gedung sekolah,memilih dan menetapkan
kepala sekolah, mendidik dan mendiklat guru,menentukan kurikulum lokal dan
lain-lain.Akan tetapi pelaksanaan itu tetap berlandaskan
kebijaksanaan,ketentuan,standarisasi, dan ketetapan pemerintah pusat.
Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan ke pemerintah daerah otonom
dilakukan dalam berbagai bidang atau urusan, kecuali dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, moneter dan
fiskal nasional, serta agama, yang masih menjadi urusan pemerintah pusat.
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 terdapat 16 (enam belas)
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagai
urusan yang berskala kabupaten/kota. Salah satu urusan wajib tersebut
adalah penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu bidang
yang didesentralisasi, atau yang oleh pemerintah pusat dilimpahkan wewenang
penanganannya kepada pemerintah daerah.
Secara konseptual,
terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama,
desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan
danaspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan
distrik),dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada
pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama
berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan
dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang
memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah
dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tujuan dan
orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan
pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika
Latin, di Amerika Serikat, dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian
kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka
fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah.
Implisit kedalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah
target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school
resources; dana pendidikan yangberasal dari pemerintah dan masyarakat).
Desentralisasi
pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan luas di bidang
kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah
lokal. Pada saat yang bersamaan, kewenangan yang lebih besar juga diberikan
pada tingkat sekolah.Tipologi komponen-komponen sektor pendidikan yang dapat
dipertimbangkan untuk didesentralisasikan dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut:
Tabel
1. Tipologi Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang Dapat Didesentralisasikan
Kewenangan
dalam
|
|
Organisasi dan proses belajar mengajar
|
Menentukan
sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
Waktu belajar
di sekolah
Penentuan buku
yang digunakan.
Kurikulum.
Metode
pembelajaran.
|
Manajemen guru
|
Memilih dan
memberhentikan kepala sekolah.
Memilih dan
memberhentikan guru.
Menentukan
gaji guru.
Memberikan
tanggung jawab pengajaran kepada guru.
Menentukan dan
mengadakan pelatihan kepada guru.
|
Struktur dan
perencanaan
|
Struktur dan
perencanaan Membuka atau menutup suatu sekolah.
Menentukan
program yang ditawarkan sekolah.
Definisi dari
isi mata pelajaran.
Pengawasan
atas kinerja sekolah.
|
Sumber daya
|
Program
pengembangan sekolah.
Alokasi
anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
Alokasi
anggaran non-personnel.
Alokasi
anggaran untuk pelatihan guru.
|
Sumber: Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) Methodologyseperti dikutip dalam Burki, et.
al. (1999).
Tujuan desentralisasi pendidikan
Menurut Hanson dalam Salim (2007:262), desentralisasi pendidikan ditujukan bagi terciptanya
(1) mempercepat pertumbuhan ekonomi; (2) meningkatkan efisiensi manajemen; (3)
distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan; (4) meningkatkan demokratisasi
melalui distribusi kekuasaan; (5) kontrol lokal menjadi lebih besar melalui
deregulasi; (6) pendidikan berbasis kebutuhan pasar; (7) menetralisasi
persaingan pusat-pusat kekuasaan; dan (8) meningkatkan kualitas pendidikan.
Tujuan akhir desentralisasi yang diharapkan adalah adanya peningkatan mutu
pendidikan. Desentralisasi tidak ada maknanya apa-apa jika tidak dapat
menghasilkan mutu pendidikan. Yang diharapkan, desentralisasi tidak hanya
sekedar memindahkan hak dan kewenangan, melainkan yang lebih penting adalah
memindahkan tanggung jawab, komitmen daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Jika desentralisasi dilaksanakan dengan konsep dan perencanaan yang matang,
maka desentralisasi pendidikan diharapkan akan mencapai tujuan yang diharapkan,
yaitu peningkatan mutu pendidikan.
B.
Isu-isu Pendidikan
Desentralisasi, demokrasi,di otonomi daerah merupakan
isu yang amat popular akhir-akhir ini.Sekarang ini telah terjadi perubahan
paradigma dalam menata manajemen pemerintahan, termasuk di dalamnya menata
manajemen pendidikan. Didalam manajemen pendidikan kita harus melihat
seberapa jauh kekuasaan pembuatan kebijaksanaan pendidikan itu tersentralisasi
atau terdesentralisasi.Demikian sampai seberapa jauh masyarakat terlibat dan
ikut berperan dalam proses pengelolaan pendidikan.Berperannya masyarakat dalam
pendidikan berarti memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengontrol
pelaksanaan pendidikan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Terdapat tiga isu sentral dalam pendidikan di Indonesia, yaitu:
1.
Mutu pendidikan
Isu mutu pendidikan
terkait (i) kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas,
penilik), (ii) kurikulum pengajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) bahan
ajar, (v) alat bantu pembelajaran, dan (vi) manajemen sekolah. Keenam elemen
ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar, yang
berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. Namun, guru tetap merupakan faktor
determinan dalam menentukan tinggi-rendahnya mutu pendidikan. Jumlah total guru
sekitar 2,4 juta orang, sebagian besar berlatar belakang pendidikan SLTA dan D3
untuk jenjang TK-SD-SMP, dan sebagian kecil tamatan S1 untuk jenjang SM. Tentu
saja ini berpengaruh pada kemampuan mengajar, yang diukur dengan penguasaan
materi pelajaran dan metodologi pengajaran. Selain itu, banyak guru yang
mengajar di luar bidang keahliannya, yang secara teknis disebut mismatch.
Contoh ekstrem, guru sejarah mengajar matematika dan IPA, yang terutama banyak
dijumpai di madrasah (MI, MTs, MA). Guru mismatch ini jelas tidak mempunyai kompetensi
untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat
menurunkan mutu aktivitas pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan mutu
guru mutlak dilakukan yang bisa ditempuh melalui program sertifikasi dan
penyetaraan D3 dan S1 menurut bidang studi yang relevan. Namun, upaya ini harus
disertai pula dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian insentif.
Ini sangat penting agar motivasi guru dalam mengajar makin kuat dan semangat
pengabdian dalam menjalankan tugas mulia sebagai pendidik kian bergelora.
2. Pemerataan akses
Pemerataan
pendidikan merupakan isu paling kritis karena berkait erat dengan isu sensitif,
yakni keadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Memperoleh pendidikan yang
layak merupakan hak asasi setiap warga bangsa yang dijamin konstitusi. Maka,
pemerintah wajib memberi pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh
masyarakat. Keberhasilan pelayanan pendidikan dapat dilihat dari angka
partisipasi. Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah
peningkatan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin
yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Problem
mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan.
Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus
mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks
ini, kebijakan affirative action amat
relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi pendidikan
antardaerah dan antarkelompok masyarakat.
3. Efisiensi anggaran
Yang dimaksud efisiensi dalam
menggunakan dana pendidikan adalah penggunaan dana yang harganya sesuai atau
lebih kecil daripada produksi dan layanan pendidikan yang telah direncanakan.
Atau secara lebih luas pendidikan lebih kecil daripada produksi pendidikan bila
semuanya dapat diuangkan. Sementara itu yang dimaksud dengan penggunaan dana
pendidikan secara efektif adalah bila dengan dana tersebut pendidikan yang
telah direncanakan bisa dicapai dengan relatif sempurna.
Peningkatan efisiensi pendidikan adalah salah satu dari
kebijakan pemerintah (hasil rapat kerja nasional, 1994). Kebijakan yang lain
adalah pemerataan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan relevansi
pendidikan dengan pembangunan, dan peningkatan mutu pembangunan. Mengapa pemerintah
memandang perlu peningkatan efisiensi pendidikan? Pertama adalah dana
pendidikan sangat terbatas daan kedua, seperti halnya dengan
depaartemen-departemen lain, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengalmi
banyak kebocoran dana. Untuk memanfaatkan dana yang sudah kecil ini secara
optimal sangat diperlukan efisiensi dalam penggunaanya.
Rendahnya alokasi anggaran pendidikan selalu mengemukan dalam perdebatan publik.
Banyak pihak menuntut agar alokasi anggaran pendidikan dinaikkan guna mencapai
tujuan (1) meningkatkan mutu dan (2) memperluas akses (pemerataan). Pemerintah
telah memberi komitmen untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap
agar mencapai 20 persen dari APBN. Namun, kenaikan anggaran tidak akan berarti
bila tidak disertai upaya efisiensi. Isu efisiensi menyangkut cara memanfaatkan
dana yang ada untuk membiayai berbagai program dan jenis kegiatan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Kita harus mampu membuat skala prioritas dan
menentukan program utama agar sasaran yang telah ditetapkan bisa tercapai.
Maka, disiplin dalam penggunaan anggaran menjadi amat penting guna menghindari
penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukannya. Hanya dengan disiplin anggaran
yang dilakukan secara ketat. Memahami efisiensi anggaran harus diletakkan dalam
konteks organisasi penyelenggara pendidikan. Struktur organisasi Departemen
Pendidikan Nasional yang besar dengan jumlah personel amat banyak jelas
menuntut pembiayaan yang besar pula. Untuk itu, hal penting yang patut diperhatikan
adalah bagaimana beban biaya dalam mengoperasikan organisasi raksasa ini jangan
sampai menyedot anggaran yang besar. Biaya operasional organisasi pendidikan
harus ditekan seminimal mungkin sehingga dana yang ada dapat disalurkan
langsung ke pihak-pihak penerima yang berhak, yaitu sekolah/universitas dan
siswa/mahasiswa. Bila anggaran pendidikan lebih banyak digunakan untuk
mengongkosi organisasi, ini merupakan salah satu bentuk inefisiensi. Karena
itu, tuntutan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen harus diikuti upaya
efisiensi, dengan menetapkan target dan sasaran secara benar dan mengevaluasi
pos-pos anggaran yang menjadi sumber inefisiensi.
Inilah tiga isu
sentral pendidikan yang harus menjadi fokus perhatian, peningkatan mutu
pendidikan amat penting guna melahirkan lulusan yangberkualitas dengan standar
kompetensi tinggi sehingga siap menghadapikompetisi global. Pemerataan
pendidikan amat kritikal untuk menjamin keadilan, terutama bagi masyarakat
miskin dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Efisiensi anggaran harus
dilakukan guna memastikan pemanfaatan dana secara benar untuk menghindari
misalokasi, salah sasaran, dan kebocoran.
Pada
dasarnya semua urusan bidang pendidikan dasar dan menengah telah diserahkan
kepada pemerintah kabupaten/kota. Namun terdapat beberapa urusan yang masih
menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat dan propinsi.
Kewenangan-kewenangan pemerintah pusat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Menetapkan standar kompetensi siswa;
b.
Menetapkan standar materi pelajaran
pokok;
c.
Menetapkan persyaratan perolehan dan
penguasaan gelar akademik;
d.
Menetapkan pedoman pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan;
e.
Menetapkan persyaratan penerimaan,
perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
f.
Menetapkan kalender pendidikan dan
jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan
luar sekolah;
g.
Mengatur dan mengembangkan pendidikan
tinggi, pendidikan jarak jauh serta mengatur sekolah internasional.
Pemerintah
propinsi memiliki kewenangan yang berbeda dari kewenangan yang dimiliki
pemerintah pusat. Kewenangan-kewenangan pemerintah propinsi ini dapat
disebutkan sebagai berikut :
a.
Menetapkan kebijiakan penerimaan siswa
dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu;
b.
Menyediakan bantuan pengadaan buku
pelajaran pokok/modul pendidikan untuk TK, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan luar sekolah;
c.
Mendukung/membantu penyelenggaraan
pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan
tenaga akademis;
d.
Pertimbangan pembukaan dan penutupan
perguruan tinggi, menyelenggarakan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/
atau penataran guru.
Bertolak dari uraian
kewenangan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dapat diartikan
bahwa tanggung jawab dan kewenangan pendidikan selain tersebut di atas berarti
diserahkan dan menjadi tanggung jawab serta kewenangan pemerintah
kabupaten/kota. Dengan kata lain, hampir semua urusan pendidikan dasar dan
menengah telah menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Disamping itu, dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 11 Tahun 1999 juga
disebutkanj bahwa kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam
rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan
kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan demikian, desentralisasi pada
hakikatnya terjadi secara penuh, yakni desentralisasi dalam pengertian
“devolusi’, karena disertai dengan sumberdaya manusia, anggaran, sarana, dan
prasarananya. Dengan kata lain, desentralisasi mencakup semua aspek manajemen,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan.
Menurut Salim (2007:268), menyebutkan bahwa syarat atau faktor penunjang
keberhasilan desentralisasi pendidikan adalah
1.
Menetepkan
deregulasi, deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi yang
terlalu ketat dan panjang. Deregulasi berarti menghilangkan banyaknya rantai
birokasi yang terlalu banyak. Sebagai system, semestinya birokrasi bukan untuk
mempersulit dan memperlambat proses seharusnya memperlancar proses layanan yang
diperlukan oleh masyarakat.
2.
Menerapkan
semiotonomi atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan
berkesinambungan. Pemberian otonomi kepada sekolah, misalnya harus
memepertimbangkan kesiapan sekolah untuk dapat melaksanakannya.
3.
Melaksanakan
kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Kewenangan dalam penyelenggaraan sekolah terdapat dalam dua institusi,
yaitu kepala sekolah dan komite sekolah. Untuk menampung inspirasi kepala
sekolah dan ketua komite sekolah harus dapat bekerjasama sesuai dengan peran,
fungsi dan tugas masing-masing.
4.
Menetapkan
profesionalisme, transparasi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi
pendidikan. Tanpa profesionalisme, transparasi dan akuntabilitas proses
desentralisasi pendidikan akan berjalan tanpa nuasa demokrasi.
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sudah
seharusnya diimplikasikan sesuai dengan ketetatapan yang ada. Menurut Salim
(2007:267), implikasi desentralisasi pendidikan perlu mempertimbangkan hal
berikut:
1.
Masyarakat
dan aparat pemerintah daerah harus memiliki kemampuan majerial yang memandai
untuk menerima kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepadanya.
2.
Perlu
adanya perubahan sikap dan perilaku yang bertanggung jawab dalam menerima
amanah yang diberikan kepada para pemegang otoritas di daerah.
3.
Dalam
menjujung tinggi consensus nasional Negara, diperlukan media koordinasi antar
kabupaten/kota dan dapat melibatkan pihak propinsi untuk melaksanakan fungsi
koordinasi tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Banjarmasin
Post.Soal guru dan Kepsek Jarang Mengajar, 8 Juni
2012.Diakses tanggal 13 Oktober 2012
Salim, Agus. 2007.Indonesia Belajarlah, Kerjasama Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.Yogyakarta: Tiara Wacana.
0 Response to "Konsep dan Isu Desentralisasi Pendidikan"
Post a Comment