Burnout dan Proses Bimbingan dan Konseling
Burnout dan Proses Bimbingan dan Konseling
Burnout
telah didefinisikan dalam berbagai cara karena konstruk diperkenalkan pada
tahun 1974. Definisi pertama burnout,
sebagai bagian dari fisik dan emosional di tempat kerja, diusulkan oleh
Freudenberger (Lent, 2012:355). Burnout adalah “terkurasnya kondisi jasmania atau rohani
seseorang, sehingga tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya” (Glading,
2012:43). Burnout sering juga disebut
stes kerja, stes kerja ini tentunya akan mempengaruhi kinerja konselor. Karena
stes kerja dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya, konselor tidak dapat
berfikir secara normal dan menanggapi masalah konseli dengan berbeda, bahkan
konselor di tuntut untuk keluar dari profesi konseling. Pada
jurnal yang dipaparkan oleh Jonathan Lent dan Robert C. Schwartz dengan judul “The impact of work setting, demographic
caracteristics, and personality factors related to burnout among profesional
counselors” melihat beberapa pengaruh dari
pengaturan kerja, karakteristik demografi dan faktor personal konselor yang
mempengaruhi burnout. Pada seting
kerja di klinik dilihat memiliki lebih banyak pengaruh pada stres kerja pada
konselor. Namun kenyataanya bahwa konselor di Indonesia belum banyak yang masuk
pada ranah rumah sakit atau klinik perawatan. Namun ada beberapa rumah sakit
yang memperkerjakan konselor yang berlatar belakan pendidikan agama, atau
konselor yang berasal dari sekolah berbasis agama. Namun jumlahnya tidak banyak
dan di Indonesia konselor lebih sering dikenal di ranah pendidikan. tidak
dipungkiri di dunia pendidikan pun ada konselor yang mengalami stres kerja.
Diperkuat oleh pendapat Emerson dan Markos dalam Glading (2012:43)
diperkirakan rata-rata 39% konselor sekolah dan komunitas pasti pernah
mengalami masalah burnout dari
tingkat menengah hingga ke tingkat tinggi sepanjang karirnya.
Penelitian
ini juga menunjukan bahwa tingkat burnout
pada perempuan jauh lebih tinggi daripada tingkat burnout pada laki-laki dalam
taraf professional atau pengalaman kerja yang sama. Beberapa hal memang di
ketahui bahwa Gulbertson (Santrock, 2002:126) mengatakan bahwa “perempuan lebih
cenderung depresi daripada laki-laki.” Namun kenyataannya di Indonesia lebih banyak
konselor perempuan daripada konselor laki-laki di ranah pendidikan. Sebagai
contoh di Jarakta yaitu “guru bimbingan dan konseling di SLTP se-Jakarta
terdiri dari 54 guru bimbingan dan konseling perempuan dan 14 guru bimbingan
dan konseling laki-laki” (Andangsari, 2010:52). Hasil dari penelitan Andangsari
(2010:59) menggambarkan :
…mengenai anggapan bahwa guru BK perempuan dinilai
lebih sesuai untuk menjadi konselor daripada guru BK laki-laki, ternyata
anggapan tersebut dapat dipatahkan. Guru BK laki-laki justru memiliki kualitas
empati yang tidak berbeda dengan guru BK perempuan. Malahan guru BK laki-laki,
berdasarkan hasil asesmen DISC ini menunjukkan perilaku komunikasi yang lebih
persuasif dalam mengarahkan siswanya ketimbang guru BK perempuan. Guru BK
perempuan cenderung lebih dominan dalam berkomunikasi dengan para siswa.
Bahkan, guru BK laki-laki dalam penelitian ini terlihat memiliki kualifikasi
yang lebih sesuai dengan tuntutan kualifikasi seperti yang ditetapkan oleh
pemerintah daripada guru BK perempuan. Keempat, guru BK perempuan dalam
menjalin relasi dengan para siswanya memang lebih hangat dan mampu menjalin
relasi lebih dekat dengan para siswa ketimbang guru BK laki-laki. Kelima, guru
BK laki-laki berdasarkan hasil asesmen DISC lebih berorientasi pada data dalam
melakukan konseling…
Penelitian
Jean Baker Miller juga mamandang bahwa “ketika maneliti apa yang dilakuakn oleh
perempuan dalam hidup mereka, sebagian besar berada dalam keterlibatan aktif
dalam perkembangan orang lain. Perempuan seringkali berinteraksi dengan orang
lain dengan cara membantu perkembangan emosional, intelektual, dan sosial orang
lain” (Santrock, 2012:127). Karena hal-hal tersebutlah yang mempengarui
persepsi masyarakat bahwa konselor (guru bimbingan dan konseling) lebih baik
perempuan. Mereka beranggapan perempuan akan lebih telaten dan profesi guru tidak
menuntut banyak beban fisik sehingga pendaftar di universitas lebih banyak
mahasiswa perempuan dari pada laki-laki. Namun pernyataan konselor perempuan
lebih banyak mengalami stres kerja dari pada laki-laki memang perlu
pertimbangan lagi. Karena pertimbangan jumlah konselor, bisa jadi konselor
perempuan dengan tidak memiliki stres kerja tertutup oleh banyaknya jumlah perempuan
dengan stres kerja tinggi, karena perbandingan antara konselor perempuan dan
laki-laki yang cukup berbeda jauh.
Beban kerja
merupakan salah satu faktor kenapa terjadinya burnout pada konselor, namun di
Indonesia masih ditemui konselor yang kurang memperhatikan beban kerja dan
tanggung jawab konselor yang seutuhnya. Sehingga konselor di Indonesia masih
banyak yang menggap bahwa pekerjaan yang tidak memiliki banyak tuntutan.
Beberapa masalah yang muncul dalam
sekolah karena kinerja dari konselor, seperti dirangkum dalam Sugiyo (2011:4)
berbagai kesalah pahaman dalam memaknai bimbingan dan konseling:
a.
Layanan bimbingan dan konseling hanya diberikan
kepada siswa yang bermasalah saja.
b.
Bimbingan disamakan dengan nasihat
c.
Bimbingan dapat berjalan kalau ada tes
d.
Konselor dianggap sebagai polisi sekolah
e.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dapat
dilakukan oleh siapa saja
f.
Menganggap hasil kerja bimbingan dan konseling
harus segera terlihat
g.
Menyamaratakan pemecahan bagi semua klien
h.
Menyamaratakan pekerjaan bimbingan dan
konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater
Sebenarnya
masalah-masalah tersebut malah yang akan memicu munculnya stres kerja dari
konselor. Masalah-masalah yang muncul akan memicu perasaan
negatif, seperti kecemasan, kemarahan, atau depresi. Karena konselor merasa tidak bisa
menangani masalah konseli dan tidak mendapat dukungan dari lingkungan. Penting
sepertinya dukungan dari organisasi, khususnya sekolah terlebih organi profesi
konselor sendiri. Hampir sama dengan masalah di Amerika yang memiliki beban
kerja yang berat, di sisi lain konselor yang bekerja dengan pemuatan program
yang rinci juga mengalami beban kerja yang tinggi. Seperti masalah dalam
administrasi “evaluasi program bimbingan di salah satu SMA di DKI Jakarta
menunjukakan bahwa sekolah tersebut
tidak membuat perencanaan program bimbingan secara baik.” masalah
administrasi seperti evalusi masih tinggi di Indonesia karena pengadministrasian
program bimbingan dan konseling dinilai terlalu banyak, jika dilihat dari
beberapa profesi lain, seperti dokter yang mamiliki tingkat kerumitan
administrasi yang lebih cepat. Sehingga seringkali guru lebih menyibukkan diri
dengan administrasi namun layanan yang diberikan lemah. Ini salah satu pemicu
stres kerja konselor di Indonesia. Ditambah dengan kurikulum yang selalu
berubah mengikuti pergantian menteri menjadi tantangan tersendiri bagi konselor
sekolah di Indonesia. Akan lebih baik jika kepala sekolah memberi dukungan yang
baik antara anggaran dan administrasi pembuatan program akan sangat mendukung
kinerja guru bimbingan dan konseling, namun kenyataannya masih banyak kepala
sekolah yang memberikan tugas guru bimbingan dan konseling sebagai kesiswaan
atau polisi sekolah.
Karena
masalah-masalah yang disebutkan diatas, dalam lingkungan kerjanya konselor
perlu dukungan dari segala pihak. Kerjasama tersebut perlu dimulai dengan
meluruskan kesalah pahaman dalam bimbingan dan konseling. Karena dalam lapangan
ditemukan oleh Buchori (Badrujaman, 2011:4)
bahwa “tenaga guru bk belum mendapatkan tempat yang layak di kebanyakan
sekolah.” Lingkungan perlu memberi dukungan untuk mengurai stres kerja atau
burnout pada konselor.
Masalah-masalah
yang menjadi pemicu burnout tersebut
perlu disikapi dengan baik, karena masalah tidak akan pernah berhenti mengikuti
perkembangan menuju kondisi yang lebih baik. Penelitian ini (Lent, 2012:366)
sudah menyertakan beberapa implikasi atau penanganan burnout pada konselor yang pastinya akan berguna bagi konselor
dalam menangani burnout pada dirinya
atau lingkungannya, yang di terjemahkan dan dirangkum sebagai berikut:
a. “Skovholt,
Grier, dan Hanson menyarankan budaya kepemimpinan
organisasi bersedia untuk mempromosikan pentingnya keseimbangan
perawatan lainnya/perawatan diri kesehatan.” Di Indonesia dari pihak pemerintah
dan bantuan dari ABKIN dapat memberikan beberapa jaminan sosial dan kesehatan
untuk berkembangnya profesi konselor dan kenyamanan konselor itu sendiri. Sehingga
profesi konselor tidak dipandang sebelah mata.
b. “Menerima
dukungan dari rekan-rekan dan mentor dapat membantu normalisasi pengalaman
terkait stress kerja. Jika konselor berusaha
untuk menekan atau mengabaikan gejala kelelahan, ada kemungkinan bahwa gejala
tambahan bisa terjadi. Meskipun
pengalaman kerja ada yang memalukan, konselor dapat yakin bahwa pengalaman ini
cukup umum untuk dapat diterima oleh rekan-rekan.” Dukungan dari konselor ataupun guru yang lain
merupakan hal yang penting. Karena konselor akan mudah bangkit dari
keterpurukan dengan semangat yang diberikan oleh konselor atau guru lainnya.
Namun perlu adanya komunikasi yang baik terlebih dahulu antara konselor dengan
teman sejawatnya dengan menunjukan berbagai kinerja yang baik. Tidak sedikit konselor
yang dianggap remeh di sekolah karena kinerjanya kurang maksimal.
c. “Skovholt
menerangkan
dengan menjadi lebih sadar diri, konseling profesional dapat membantu
untuk mencegah stagnasi profesional dan kelelahan. Introspeksi memungkinkan konselor untuk menjadi lebih sadar
diri, meningkatkan kematangan pribadi, dan meningkatkan efektivitas
profesional. Sebagai contoh, kesadaran diri dari sifat IPIP-terkait, seperti
kombinasi peningkatan neurotisisme dan kurang keramahan, dapat menyebabkan
kerentanan konselor menjadi burnout.
Item dari IPIP merujuk pada perilaku berikut, yang
dapat penanda ciri-ciri kepribadian yang terkait dengan burnout dalam penelitian ini: "tidak suka untuk diri
sendiri" "merasa down dalam kesedihan sering, dan "yang mudah
panik".”
d.
“Skovholt menjelaskan hal
ini penting bagi konselor untuk menyeimbangkan perawatan lain dan perawatan
diri. Ini mungkin memerlukan bantuan profesional serta perawatan diri pribadi.
Schwartz & Kaelber mengatakan bahwa menyeimbangkan
empat dimensi pribadi kesehatan, fisik, spritual, emosional, dan sosial adalah
hal penting. Hal ini dapat dilakukan dengan membina dan koneksi menantang
dengan keluarga, teman, dan lain-lain. Banyak
konselor menemukan bahwa konseling profesional meningkatkan fokus mereka pada kesehatan.
Akhirnya, kegiatan restoratif, seperti olahraga,
meditasi, berbagi perasaan dengan teman, menghabiskan waktu di kegiatan
rekreasi, atau menggambar pada sumber daya spiritual, dapat strategi perawatan
diri penting. Diharapkan mengambil tindakan pencegahan
untuk meringankan stress berkontribusi terhadap kelelahan bisa mengakibatkan
berkurangnya ketidakhadiran, kualitas yang lebih besar dari perawatan dengan
klien, kurang rasa lelah, dan kepuasan kerja yang lebih tinggi.”
Glading (2012:43) juga
memberi beberapa metode untuk menghindari burnout
yaitu:
a. Menjalin
hubungan dengan individu yang sehat jasmani dan rohani
b. Bekerja
sama dengan sejawat dan organisasi yang memiliki komitmen dan misi yang jelas.
c. Menggunakan
toeri-teori onseling yang ada
d. Melakukan
latihan mengusir stres
e. Mengubah
hal-hal di lingkungan sekitar yang sekiranya dapat menimbulkan stres.
f. Melakukan
penilaiaan diri (mengidentifikasika hal apa saja yang dapat menimbukan stres
dan apa yang membuat rileks)
g. Secara
berkala memeriksa dan mengklarifikasi peranan, tuntutan, keyakinan konseling
(seperti bekerja lebih cerdas disbanding lebih lama)
h. Mengikuti
terapi personal
i.
Menyediakan
waktu luang dan pribadi (misalnya, gaya hidup seimbang)
j.
Menjaga sikap
dan mengambil jarak ketika bekerja dengan klien
k. Mempertahankan
sikap berpengharapan.
Cara-cara diatas
dapat di gunakan di Indonesia walaupun di Amerika memiliki latar kerja yang
lebih bermacam-macam namun faktor yang mempengaruhi burnout pada konselor di Amerika dan Indonesia masih sama, seperti,
perempuan lebih banyak mengalami stres kerja dan perasaan
negatif, seperti kecemasan, kemarahan, atau depresi, dan kelebihan beban kerja.
Namun yang terpenting adalah
bagaimana konselor mencegah munculnya stres kerja yang akan terjadi. Konselor
juga dapat mempraktikan beberapa teknik menangani stres yang dimiliki/dikuasai
untuk diterapkan pada dirinya.
2. Daftar
Pustaka
Andangsari, Esther Widhi. 2010. Perilaku Kerja Guru Bimbingan Konseling
Laki-Laki dan Perempuan Tingkat SLTA di Jakarta. Jakarta: HUMANIORA (dalam
bentuk jurnal) diakses melalui research-dashbord.binus.ac.id pada tanggal 13
Oktober 2015.
Badrujaman,
Aip.2011. Teori dan Aplikasi Evaluasi
Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta:PT Indeks
Glading, Samuel T.2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh.
Jakarta: Indeks.
Lent, Jonathan dan Robert C.
Schwartz.2012. The impact of
work setting, demographic caracteristics, and personality factors related to
burnout among profesional counselors.Huntington:
Amerecan Mental Health Counselors Association (Jurnal of Mental Health
Counseling) dalam bentuk jurnal
Santrock,
John W. 2002. Life Span Developmental
Jilid 2 (edisi ke lima). Jakarta: Erlangga
Sugiyo.2011.Manajemen Bimbingan dan Konseling. Semarang: Widya Karya
0 Response to " Burnout dan Proses Bimbingan dan Konseling"
Post a Comment