5. ASSESING FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN
ASSESING FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN
Jika perilaku
manusia merupakan hasil bentukan dari
lingkungan sekitar, maka sudah menjadi tugas bagi orang-orang yang
mempelajari tentang perilaku manusia untuk mengembangkan alat-alat konseptual
untuk mempelajari lingkungan tersebut. Untuk mempelajari tentang lingkungan
tersebut, kita memerlukan beberapa teori tentang interaksi manusia dengan
lingkungan. Teori-teori
tersebut akan membantu kita mengkonseptualisasikan bagaimana orang merespon dan
berinteraksi dengan lingkunganya.
1. Teori Barker tentang
Interaksi Manusia dengan Lingkunganya
Barker
memformulasikan sebuah pendekatan yang berasumsi bahwa setting perilaku atau
hal-hal yang terjadi secara alami dalam sebuah unit lingkungan akan membentuk
perilaku manusia yang berada didalamnya.
a. Karakteristik Seting
Perilaku
Barker
(1978) menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik dasar yang harus dimiliki
oleh setting perilaku atau unit
ekologis untuk bisa membantu kita memahami interaksi manusia dengan
lingkunganya. Setting
perilaku yang terjadi secara alami tanpa campur tangan dari para eksperimenter
memiliki karakter sebagai
berikut:
1. Memiliki tempat dan
waktu.
2. Memiliki
batasan-batasan
3. Memiliki keberadaan
secara fisik dan objektif
4. Memiliki dua pasang
komponen; (a)Perilaku dan (b)berhubungan dengan objek
5. Seluruh unit yang ada
melingkungi dan mengelilingi komponen-komponen masing-masing.
6. Manusia beserta
aktifitasnya berhubungan dengan objek fisik
7. Pola-pola yang berada
dalam batasan secara mudah bisa dibedakan dengan pola-pola yang berada diluar batasan
b. Prinsip dari Kelakuan
Barker
dan asosiasinya pada tahun (1978) mengembangkan prinsip “kelakuan optimal”.
Pada dasarnya prinsip ini muncul seiring dengan studi intensif terhadap
perilaku murid di sejumlah sekolah dengan ukuran murid yang berbeda-beda. Pada
studi tersebut Barker dan koleganya menemukan bahwa kesempatan untuk
berpartisipasi dalam seting perilaku yang diberikan ditentukan secara luas oleh
aktifitas yang diperankan secara alami dalam sebuah setting tertentu.
1).
Konsep dari Ekologi Sosial
Konsep
ekologi sosial dikembangkan oleh Rudolf Moos
dan rekannya.
Pada dasarnya konsep ini fokus
pada hubungan antara variabel lingkungan dalam sebuah lingkungan. Ekologi
sosial berhubungan dengan enam dimensi dasar, yakni;
·
Dimensi
ekologis, meliputi kondisi geografis, meteorologis,
dan fisik dari lingkungan
·
Dimensi
pengorganisasian struktur meliputi ukuran,
perbandingan atau rasio staff, gaji, dll.
·
Karakteristik
personal dari lingkungan pergaulan, meliputi
jenis kelamin, umur, status ekonomi, kemampuan, group keanggotaan, dan faktor
latar belakang.
·
Setting perilaku
·
Properti-properti
yang berfungsi dalam lingkungan
·
Karakteristik
psikologis dan perubahan organisasional, hal
ini meliputi persepsi individu terhadap lingkunganya masing-masing.
Moos
dan asosiasinya telah mengembangkan beberapa instrumen yang spesifik untuk menaksir berbagai persepsi
terhadap lingkungan. Ketiga instrumen ini memiliki dimensi yang luas dalam
persepsi terhadap lingkungan: (1) hubungan,
(2) orientasi
pribadi dan orientasi tujuan, (3) perubahan
sistem
2). Konsep Kecocokan
Manusia terhadap Lingkungan
Pervin
(1968) berasumsi bahwa semua individu akan menunjukan performa yang lebih baik,
lebih memuaskan dan ketidakcocokan yang ada akan sedikit berkurang ketika ia
berada dalam situasi yang sama dengan kebutuhan personal, aspirasi yang
dibutuhkan oleh individu untuk tumbuh dan berkembang. Pervin mendefinisikan
bahwa ada dua elemen dalam lingkungan yakni interpersonal dan
non-interpersonal. Secara singkat teori Pervin menyatakan bahwa orang-orang
dengan kepercayaan diri yang rendah merasa lebih puas terhadap support atau
dukungan sosial dari lingkungannya, sementara orang yang mempunyai kepercayaan
diri yang tinggi cenderung untuk mendapatkan
pencapaian lebih ketika interaksi sosial dalam lingkunganya lebih menantang.
Asumsi
yang kedua adalah model yang dibangun manusia kenungkinan memiliki kesamaan,
hal ini kemungkinan diakibatkan oleh aktivitas manusia yang juga bisa
dikelompok-kelompokan kedalam kategori yang sama. Kita bisa mengkarakteristikan
lingkungan sebagaimana kita mengklasifikasikan manusia misal; realistis,
investigative,
astistik, sosial, giat, dan umum.
Asumsi
yang ketiga berhubungan dengan model hubungan manusia dengan lingkunganya. Previn
berpendapat bahwa interaksi antara manusia dengan lingkunganya yang baik akan
menghasilkan output yang bisa diprediksi dan bisa dipahami. Output ini meliputi
pilihan kejuruan, ketekunan dan kepuasan.
3). Konsep Tekanan
Lingkungan
Pendekatan
lain yang digunakan untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan terhadap perilaku
manusia adalah konsep “tekanan” lingkungan. Konsep dari kebutuhan individu dan
tekanan dalam lingkungan sudah di aplikasikan oleh Stern (1970) untuk
mendeskripsikan dan mengkategorikan lingkungan. Henry Murray (1938)
mengembangkan sebuah kerangka kerja yang berdasar pada sebuah proposisi. Murray
mendeskripsikan seorang individu sebagai seperangkat kebutuhan personal,
sedangkan tekanan lingkungan di deskripsikan sebagai tekanan-tekanan yang
memiliki pengaruh terhadap individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
Stern
(1970) mengimlementasikan sistem Murray kedalam 30 jenis kebutuhan yang diukur
dengan “index aktivitas”. Tekanan dalam lingkungan secara operasional
didefinisikan kedalam empat instrument yang digunakan untuk mengevaluasi
jenis-jenis lingkungan secara spesifik, meliputi: (1)indeks karakteristik perguruan tinggi, (2) indeks karakteristik
sekolah menengah atas, (3) indeks karakteristik sekolah malam, (4) indeks
suasana organisasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Stern pada
sejumlah perguruan tinggi dan universitas, ditemukan lima faktor utama yang
secara jelas membedakan “budaya”
masing-masing institusi tersebut, yakni: (a) ekspresi diri, (b) intelektualitas, (c) protektif, (d) kejuruan, (e)hal-hal
yang berhubungan dengan perguruan tinggi.
4). Pola Fungsional
dari Penguatan
Dalam
sebuah lingkungan yang kompleks, banyak penguatan ataupun hukuman yang memiliki
fungsi yang berbeda-beda pada waktu tertentu. Penguatan bisa memiliki makna
positif, atau netral bagi seseorang, namun penguatan tersebut bisa juga
memiliki makna negatif
atau bahkan merupakan sebuah hukuman bagi yang lain. Perbedaan respon terhadap
penguatan diatas akan dianalisa dalam sebuah analisa fungsional terhadap
lingkungan secara menyeluruh. Oleh karena itu penguatan dalam suatu lingkungan
berbeda dengan yang lain. Penguatan tersebut bisa berupa uang, hadiah, makanan
dan banyak pula penguatan yang berupa penguatan psikologis atau sosial berupa
pujian, pengakuan special, dan perhatian.
5).
Suasana Organisasional
Suasana
merupakan suatu keadaan khusus atau perasaan khusus dari suatu group atau
organisasi tertentu. Suasana organisasional meliputi faktor-faktor yang
berhubungan dengan keterlibatan, motivasi, dan moral dari anggota suatu group. Skala lingkungan perguruan tinggi dan
universitas dikembangkan oleh Pace (1969), skala ini digunakan untuk
mengukur perubahan yang terjadi dalam seting pendidikan yang lebih tinggi.
Skala ini terdiri dari lima sub-skala, meliputi: (1) komunitas, dideskripsikan sebagai hubungan kehangatan,
kepedulian dan keterikatan (2)kepedulian,
didefinisikan sebagai kepedulian tentang pertumbuhan individu (3)sarjana, dideskripsikan sebagai
kepedulian terhadap perkembangan intelektual (4)property, kepedulian terhadap kesopanan (5)kepraktisan, didefinisikan sebagai kepedulian terhadap status
sosial, kesuksesan materi, dan aktifitas-aktifitas dalam suatu organisasi.
Insel
dan Moos (1974) berpendapat bahwa dalam mengukur suasana organisasional pada
umumnya mengevaluasi tiga dimensi dasar, yakni: (1) faktor hubungan, (2) faktor
pertumbuhan pribadi, (3) faktor managemen organisasi. Ketiga dimensi atau
faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap moralitas, motivasi, dan
keterlibatan dari anggota suatu organisasi.
a. Struktur
Organisasi
Struktur
organisasi pada dasarnya merujuk pada bagaimana cara suatu organisasi
menyediakan dua aspek dasar dalam aktifitas kemanusiaan-pembagian tugas dan distribusi kekuatan. Pembagian tugas merujuk
tentang bagaimana tugas dibagi, serta tiap anggota mendapat tugas tersendiri.
Ketika kita melakukan evaluasi terhadap struktur organisasi rasionalitas untuk
spesifikasi tugas merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami, karena hal
tersebut bisa jadi merupakan struktur department dari suatu organisasi dan hal
tersebut mempengaruhi hubungan interpersonal dalam suatu seting.
Dalam
sebuah organisasi besar menjaga kontrol
dalam jumlah yang terbatas akan menciptakan lapisan hirarki dalam otoritas.
Hirarki vertikal
akan menciptakan banyak masalah dalam berkomunikasi, faktor jarak dalam hirarki
vertical seringkali menimbulkan rasa ‘tidak percaya’, rusaknya kredibilitas
terhadap otoritas seseorang dan rusaknya moral dalam suatu organisasi.
b. Jaringan
Komunikasi
Garis
dan tingkatan dalam otoritas juga membantu kita dalam menentukan jaringan komunikasi yang alami dalam
suatu organisasi. Salah satu faktor yang paling penting dalam memahami
organisasi atau lingkungan sosial adalah bagaimana cara suatu informasi
bergerak dalam sebuah sistem. Sikap kooperatif, kemampuan untuk membuat
keputusan, dan moral anggota sangat tergantung pada arus komunikasi. Sementara
itu, struktur organisasi menentukan bentuk formal dari suatu jaringan
komunikasi, bentuk dari jaringan komunikasi inilah yang pada akhirnya membentuk
perilaku dan perasaan seorang individu dalam suatu organisasi.
Katz
dan Kahn (1978) menunjukan bahwa bentuk alamiah dari jaringan komunikasi dalam
suatu lingkungan dapat dipelajari dan efek dari jaringan komunikasi tersebut
terhadap anggota juga dapat diprediksi. Kita dapat mengidentifikasi beberapa
bentuk jaringan komunikasi pada hal 192 (lihat gamabr 9-2). Dalam jaringan
komunikasi yang berbentuk “lingkaran”, format dari pesan yang disampaikan bisa
dikirim dari berbagai arah dan berbagai
stasiun dalam jaringan, anggota memiliki
kebebasan untuk mengirim dan menerima pesan sesuai dengan peran mereka
dalam suatu situasi khusus.
Dalam
pemusatan diperlukan campur tangan dari beberapa orang atau stasiun yang harus
digunakan untuk mengirimkan atau menerima pesan kepada anggota lain. Pemusatan
komunikasi juga mengukur kedekatan atau keterkucilan seseorang terhadap semua anggota lain dalam
suatu jaringan. Pemusatan dalam komunikasi juga mengukur kemampuan dari
seseorang dalam informasi-informasi penting.
6).
Mengukur Stress dalam Lingkunan
Salah
satu alas an penting mengapa konselor pelu menilai faktor lingkungan sekitar
adalah untuk memahami tingkat dan sumber dari stress yang berpengaruh terhadap
klien dan sistem klien.
a. Sumber
Stress Fisik
Temuan
dalam sebuah penelitian menunjukan bahwa efek dari stress diakibatkan oleh faktor fisik dalam
lingkungan semisal kepadatan, kegaduhan, dan polusi udara (Sigel, 1980).
Kepadatan,
penelitian menunjukan bahwa keadaan lingkungan yang sangat padat akan
menimbulkan stress tingkat tinggi, dan rendahnya fungsi kognitif dan
menyebabkan perubahan psikologis.
Kegaduhan,
tingkat kegaduhan yang berlebihan juga menjadi pemicu stress (Glass
&Singer, 1972). Pada dasarnya kegaduhan juga mnimbulkan stimulus-stimulus
yang menghasilkan dampak emosi,
kognitif, dan psikologis yang hampir sama dengan dampak-dampak yang ditimbulkan
oleh kepadatan. Kegaduhan yang berlebihan dan terjadi secara terus menerus
seringkali menimbulkan berbagai gejala fisik semisal pusing, detak jantung yang
semakin cepat, dan rasa nyeri pada dada.
Polusi,
semakin bertambahnya jumlah populasi yang ada menimbulkan berbagai pencemaran
kronsi yang terjadi pada udara, tanah, debu, makanan, dan pencemaran jenis
lain. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bau tidak enak yang seringkali
diasosiasikan sebagai pencemaran terhadap udara dapat menjadi pemicu stress
sama halnya dengan kegaduhan. Penyebab stress lainya adalah keadaan yang
ekstrim, semisal keadaan panas dan dingin yang ekstrim, pencahayaan dan
kelembapan juga mempunyai efek yang sama sebagaimana kegaduhan, dll.
b.
Sumber Stress Psikologis
Ada
banyak sumber stress dalam lingkungan yang muncul dari stimulus keadaan, yakni;
(1)kesenangan, (2)intensitas, (3)ambiguitas, (4) kompleksitas, (5) ketrlibatan.
Ketika
seorang konselor mampu mengenali dan mengidentifikasi pola-pola penting dalam interaksi
manusia dengan lingkunganya maka konselor tersebut akan terhindar dari
intrafisik “menyalahkan orang lain”, dan hal tersebut akan membuka kemungkinan
untuk melakukan intervensi terhadap masalah klien menjadi semakin besar.
Sumber : Donald H.Blocher ( 2007).The Professional Counselor. New York :
Macmilan Publishing Company.Page 73-202)
0 Response to "5. ASSESING FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN"
Post a comment